Jumat, Mei 29, 2009

ZAKAT INDIVIDU DAN ZAKAT KOLEKTIF

0 komentar
BAB I PENDAHULUAN Zakat merupakan refleksi tekad untuk mensucikan masyarakat dari penyakit kemiskinan, harta benda orang kaya, dan pelanggaran terhadap ajaran-ajaran Islam yang terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan pokok bagi setiap orang tanpa membedakan suku, ras, dan kelompok. Zakat merupakan komitmen seorang Muslim dalam bidang soio-ekonomi yang tidak terhindarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi semua orang, tanpa harus meletakkan beban pada kas negara semata, seperti yang dilakukan oleh sistem sosialisme dan negara kesejahteraan modern. Pemberdayaan ekonomi Ummat Islam melalui pelaksanaan ibadah zakat masih banyak menemui hambatan yang bersumber terutama dari kalangan Ummat Islam itu sendiri. Kesadaran pelaksanaan zakat masih di kalangan Ummat Islam masih belum diikuti dengan tingkat pemahaman yang memadai tentang ibadah yang satu ini, khususnya jika diperbandingkan dengan ibadah wajib lainnya seperti sholat dan puasa. Kurangnya pemahaman tentang jenis harta yang wajib zakat dan mekanisme pembayaran yang dituntunkan oleh syariah Islam menyebabkan pelaksanaan ibadah zakat menjadi sangat tergantung pada masing-masing individu. Hal tersebut pada gilirannya mempengaruhi perkembangan institusi zakat, yang seharusnya memegang peranan penting dalam pembudayaan ibadah zakat secara kolektif agar pelaksanaan ibadah harta ini menjadi lebih efektif dan efisien. Dalam pembahasan makalah kali ini penulis tidak banyak menyinggu tentang zakat individu. Alasan penulis sangat sederhana, yaitu karena pada pertemuan-pertemuan yang terdahulu sudah banyak dibahas mengenai bentuk zakat ini. Sehingga dirasa tidak terlampau perlu untuk membahasnya. Penulis hanya akan menyinggung secara umum dan tidak mendetail seperti pembahasan mengenai zakat kolektif. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Zakat merupakan rukun Islam kelima disebutkan dalam ayat al-Qur'an sebanyak 82 kali. Dalam terminologi fiqih, zakat sering juga disebutkan dengan istilah shadaqah dengan maknanya yang lebih general yang berkonotasi pada sebuah amal kebajikan kepada orang lain. Zakat berasal dari kata “zaka” sebagai mana digunakan dalam al-Qur'an adalah suci dari dosa. Dalam literatur fiqih zakat bermakna suci, tumbuh, berkembang dan berkah. Pengertian zakat secara terminologis adalah bagian harta yang wajib diberikan oleh setiap muslim mukallaf yang memenuhi persyaratan kepada pihak yang memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan dikenainya kewajiban zakat adalah nisab, haul dan kadar zakat. Sedangkan pihak penerima zakat adalah yang memenuhi salah satu kriteria dari delapan ashnaf (golongan) mustahiq (berhak) zakat sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur'an. Kata individu dalam kamus bahasa indonesia berarti orang seorang; perorangan; pribadi orang (terpisah dari yang lain); organisme yang hidupnya berdiri sendiri, secara fisiologi ia bersifat bebas (tidak mempunyai hubungan organik dengan sesamanya). Sedangkan kata kolektif mempunyai arti sejumlah orang; perkumpulan orang; secara bersama-sama. Jadi zakat individu dapat diberi pengertian sebagai zakat yang dibebankan kepada individu-individu perorangan, sedangkan zakat kolektif merupakan zakat yang dibebankan kepada individu-individu dalam sautu perkumpulan atau kelompok. B. Landasan hukum Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa zakat individu bagi setiap umat islam mukallaf yang mampu dan umat islam yang tidak termasuk dalam hal yang menjadi perselisihan hingga saat diwajibkan melaksanakan rukun islam yang ke-4, yaitu menunaikan zakat. Banyak ayat-ayat yang menerangkan tentang zakat individu ini pada pembahasan-pembahasan terdahulu.        ••                 Artinya : “Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah, dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”. Mengenai zakat kolektif pada saat ini hampir sebagian besar perusahaan dikelola tidak secara individual, melainkan secara bersama-sama dalam sebuah kelembagaan dan organisasi menejemen yang modern. Misalnya dalam bentuk PT, CV atau koperasi. Para ahli ekonomi menyatakan bahwa saat ini komoditas-komoditas tertentu yang sifatnya konvensional yang dilakukan dalam skala, wilayah dan level sempti. Bisnis yang dikelola perusahaan terlah merambah berbagai bidang kehidupan, dalam skala dan wilayah yang sangat luas, bahkan antarnegara dalam bentuk ekspor dan impor. Paling tidak menurut mereka perusahaan itu pada umumnya mencakup tiga hal yang besar. Pertama, perusahaan yang menghasilkan produk-produk tertentu. Jika dikaitkan dengan kewajiban zakat maka produk yang dihasilkan harus halal dan dimiliki oleh orang-orang yang beragama islam, atau kalau pemiliknya bermacam-macam agamanya, maka berdasarkan kepemilikan saham dari yang beragama islam. Sebagai contoh dapat dikemukakan, perusahaan yang memrporuksi sandang dan pangan, alat-alat kosmetik dan obat-obatan, berbagai macam kendaraan dan berbagai suku cadangnya, ala-alat rumah tangga, bahkan bangunan dan lain sebagainya. Kedua, perusahaan yang bergerak dibidang jasa, seperti perusahaan yang bergerak dibidang akutansi. Ketiga, perusahaan yang bergerak dibidang keuangan, seperti lembaga keuangan, baik bank maupun non bank (asuransi, reksadana, money, dan yang lainnya). Adapun yang menjadi landasan hukum kewajiban zakat pada perusahaan adalah nash-nash yang bersifat umum, seperti termaktub dalam surat al-baqarah ayat 267 :                            •     Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. dan at-taubah ayat 103 :           •         Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. Dalam hal penarikan zakat ini terdapat dua pendapat. Pertama adalah yang mewajibkan zakat yaitu dengan dasar hasil ijtihad ulama masa kini. Dasar yang digunakan adalah Q.S. Al- Baqarah : 267 dan UU No. 38 th 1999 ttg penglolaan zakat. Sedangkan pendapat yang kedua adalah yang tidak mewajibkan zakat yakni menurut ulama’ masa lampau. Juga merujuk kepada sebuah hadits riwayat imam bukhari (hadits ke-1448 dan dikemukakan kembali dalam hadits ke-1450 dan 1451). Dari muhammad bin abdillah al-anshari dair bapaknya, ia berkata baha abu bakar ra telah menulis sebuah surat yang berisikan kewajiban yang diperintahkan oleh rasulullah saw, terjemahannya sebagai berikut : “Dan janganlah disatukan (dikumpulkan) harta yang mula-mula terpisah. Sebaiknya jangan pula dipisahkan harta yang pada mula-mulanya bersatu karena takut mengeluarkan zakat”. Dalam riwayat lain juga dituliskan hadits yang terjemahannya sebagai berikut : “Dan harta yang disatukan dari dua orang yang berkongsi, maka dikembalikan kepada keduanya secara sama”. Hadits tersebut pada awalnya berdasarkan asbab al-wurud-nya. Yaitu hanya berkaitan dengan perkongsian dalam hewan ternak, sebagaimana dikemukakan dalam berbagai kitab fiqh. Akan tetapi dengan dasar qiyas dipergunakan pula untuk berbagai syirkah dan perkongsian serta kerjasama usaha dalam berbagai bidang. Apalagi syirkah dan perkongsian itu kerupakan kegiatan usaha yang sangat dianjurkan oleh ajaran islam. Berdasarkan hadits-hadits tersebut, keberadaan perusahaan sebagai wadah usaha menjadi badan hukum (recht person). Karena itu muktamar internasional pertama tentang zalat di kuwait (29 rajab 1404 H) menyatakan bahwa kewajiban zakat sangat terkait dengan perusahaan dengan catatan antara lain adanya kesepakatan sebelumnya antara para pemegan saham, agar terjadi kedidhaan dan keikhlasan ketika mengeluarkannya. Kesepakatan tersebut seyogyanya dituangkan dalam aturan perusahaan, sehingga sifatnya menjadi mengikat. Perusahaan menurut hasil muktamar tersebut termasuk ke dalam syirkah i’tibaran (badan hukum yang dianggap orang). Oleh karena itu antara individu itu kemudia timbul transaksi, meminjam, menjual, berhubungan dengan pihak luar, dan juga menjalin kerjasama. Segala kewajiban dan hasil akhirnya un dinikmati secara bersama, termasuk di dalamnya kewajiban kepada Allah SWT dalam bentuk zakat. Tetapi di luar zakat perusahaan, tiap individu juga waijb mengeluarkan zakat, sesiau dengan penghaslian dan juga nishabnya. Dalam kaitannya dengan kewajiban zakat perusahaan ini, dalam undang-undang no. 38 tahun 1999, tentang pengelolaan zakat Bab IV pasal 11 ayat 2 bagian b dikemukakan bahwa diantara objek zakat yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah perdagangan dan perusahaan. C. Nisab, Waktu, Kadar dan Cara Mengeluarkan Zakat Perusahaan Para ulama muktamar internasional pertama tentang zakat menganalogikan zakat perusahaan ini kepada zakat perdagangan, karena dipandang dari aspek legal dan ekonomi kegiatan sebuah perusahaan intinya berpijak pad trading atau perdagangan. Oleh karena itu secara umum pola pembayaran dan perhitungan zakat perusahaan adlah sama dengan zakat perdagangan. Demikian pula nisabnya adalah 85 gram emas. Sebuah perusahaan biasanya memiliki harta yang tidak akan terlepas dari tiga bentuk. Pertama harta dalam bentuk barang, bak yang berupa sarana dan prasarana, maupun yang merupakan komoditas perdagangan. Kedua, harta yang dalambentuk piutang. Ketiga, harta dalam bentuk uang tunai, yang biasanya disimpan di bank-bank. Maka yang dimaksud dengan harta perusahaan yang harus dizakati adalah ketiga bentuk harta terbut, dan dikurangi harta dalam bentuk sarana dan prasarana dan kewajiban mendesak lainnya seperti utang yang jatuh tempo atau yang harus dibayar saat itu juga. Abu ubaid dalam al-amwaal menyatakan bahwa “apabila anda telah sampai pada batas waktu membayar zakat (yaitu usaha anda telah berlangsung selama satu tahun, misalnya usahan dimulai pada bulan dzulhijjah 1421 H dan telah sampa pada dzulhijja 1422), perhatikanlah apa yang engkau miliki, baik berupa uang (kas) ataupun barang yang siap diperdagangkan (persediaan), kemudian nilailah dengan nilai uang dan hitunglah utang-utangmy atas apa yang telah engkau miliki”. Dari penjelasan diatas maka dapat diketahui bahwa pola perhitungan zakat perusahaan, didasarkan pada pola laporan keuangan dengan mengurangkan kewajiban atas aktiva lancar. Atau seluruh harta (diluar sarana dan prasarana) ditambah keuntungan, dikurangi pembayaran utang dan kewajiban lainnya, lalu dikeluarkan 2,5 % sebabai zakatnya. Namum ada pendapat lain menyatakan bahwa yang wajib dikeluarkan zakatnya itu hanyalah keuntungannya saja. Pendapat lain menyatakan bahwa jika perusahaan tersebut bergerak dalam bidang produksi maka zakat yang dikeluarkan sesuai dengan aturan zakat investasi atau pertanian. Dengan demikian zakat perusahaan dikeluarkan pada saat menghasilkan sedangkan modal tidak dikenai zakat. Kadar zakat yang dikeluarkan sebesar 5 % atau 10 %. 5 % untuk penghasilan kotor dan 10 % untuk pengahasilan bersih. Terdapat sedikit catatan apabila dalam perusahaan tersebut ada penyertaan modal dari pegawai non muslim maka penghitungan zakat setelah dikurangi kepemilikan modal atau keuntungan dari pegawai non muslim. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari sedikit uraian diatas dapat penulis simpulkan sebagai berikut : 1. Dalam hal landasan zakat kolektif ini masih terdapat perbedaan pendapat antara ulama masa lampau dengan ulama masa kini. Hal tersebut disebabkan karena perbedaan dasar yang digunakan masing-masing pihak. 2. Nisab mengeluarkan zakat apabila mengikuti pendapat ulama masa kini adalah 85 gram emas dan waktunya setahun. Seperti halnya zakat-zakat lainnya. 3. Cara mengeluarkannya zakat kolektif adalah dengan menarik dari pihak yang bersangkutan yang kemudian dikumpulkan. Dan setelah terkumpul dikeluarkanlah zakatnya atas nama kolektif (atas nama perusahaan). DAFTAR PUSTAKA Al-Qaradhawy, yusuf, Dr. Fiqhuz Zakah, II, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, cetakan VIII, 1405H/ 1985M. Husnan, Ahmad. Zakat Menurut Sunnah dan Zakat Model Baru, Pustaka Al-Kautsar Jakarta, cetakan I, 1996. Sabiq, As-Sayyid. Fiqhus Sunnah, jilid I dan III, Darul Fikr, Beirut, cetakan IV, 1403H/ 1983M. Tunggal, Hadi Setia, SH (penghimpun), Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dilengkapi Undang-Undang Nomor 17/ 1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Harvarindo Jakarta, 2000.

Kamis, Mei 21, 2009

Pengertian Good Governance Dan Clean Government

0 komentar

Kata governance berasal dari kata to govern (yang berbeda maknanya dengan to command atau to order) yang artinya memerintah. Istilah Good Governance telah diterjemahkan dalam berbagai istilah, misalnya penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata-pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab (LAN). Sedangkan kata Government atau pemerintah dalam kamus oxford berasal dari kata govern yang artinya legally control and run a country, city , atc”. alam bahasa Inggris diartikan : "The authoritative direction and administration of the affairs or men/women in a natoon, state, city, etc". Pemerintah adalah pengarahan yang berkewenangan dan pengaturan atas kegiatan orang-orang dalam sebuah negara, negara bagian, kota, dan sebagainya. Dapat diartikan juga sebagai lembaga atau badan yang menyelenggarakan pemerintahan negara, negara bagian, kota, dan sebagainya.

Secara konseptual pengertian good (baik) dalam istilah Good Governance (kepemerintahan yang baik), mengandung dua pemahaman :

1. Nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai tujuan nasional, kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial;

2. Aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efisien dan efektif dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan dimaksud

Dari pengetian diatas dapat ditarik makna lain bahwa good governance merupakan seni atau gaya moral pemerintahan yang baik, lebih memerlukan suatu butir-butir moral-legal dalam pelaksanaannya. Good governance menunjuk pada suatu penyelenggaraan negara yang bertanggung jawab serta efektif dan efisien dengan menjaga kesinergisan interaksi konstruktif diantara institusi negara/pemerintah (state), sektor swasta/dunia usaha (private sector) dan masyarakat (society). Dengan demikian, paradigma good governance menekankan arti penting kesejajaran hubungan antara domain negara, sektor swasta/dunia usaha dan masyarakat. Ketiganya berada pada posisi yang sederajat dan saling kontrol untuk menghindari penguasan atau eksploitasi oleh satu domain terhadap domain lainnya. Sedangkan clean government dapat diartikan sebagai pemerintahan yang bersih, yaitu bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme serta permaslahan-permasalahan yang lain terkait dengan pemerintahan.

Mendahulukan Clean adalah lebih baik daripada Good, dengan alasan, untuk menciptakan pemerintahan yang baik dalam diri birokrat harus ada komitmen bersih (clean) terlebih dahulu, apabila tidak maka percuma saja. Jadi syarat menjadi Good Governance adalah harus Clean Government terlebih dahulu. penulis adalah mahasiswa Jurusan Hukum Islam FIAI UII

Selasa, Mei 05, 2009

0 komentar
BAB I  MUQADDIMAH Alhamdulillah, segala pujian dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. atas berkat rahmat-Nya akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Tafsir Ahkam ini tepat pada waktu yang telah ditentukan, dalam makalah ini kami akan sedikit membahas tentang keadilan yang terkandung dalam hukum waris yang akhir-akhir ini sering diperdebatkan. Seterusnya kami haturkan terimakasih kepada Bapak Dosen yang telah mempercayakan tugas makalah ini kepada saya, serta permohonan maaf saya sampaikan sebelumnya atas ketidak sempurnaan makalah ini, baik dari segi penulisan atau isi, karena kami sadar dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan-kekurangan, dan mungkin banyak terdapat kesalahan-kesalahan baik yang kami sadari atau tidak, maka dari itu kami sangat mengharapkan bimbingan dan penilaian dari bapak dosen serta kritik dan sarannya. BAB II PEMBAHASAN
A. Tarjamah Ayat dan Kosa Kata Kunci قال الله تعالى :                               •                       •                       •                                                                            •                                       •                   •        “[11] Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian waris untuk) anak-anakmu. yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[12] Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. [13] (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. [14] Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”   Pada surat An-Nisaa’ ayat 11-14 di atas terkandung beberapa kosa kata yang memiliki peran penting dalam penerjemahan maksud dan tujuan ayat tersebut. Dengan kita bahas penjelasan dari kosa kata kunci tersebut, maka akan mempermudah dalam penafsiran ayat. Kosa kata itulah yang perlu kita cemati terjemahan juga maknanya.  Beberapa kosa kata penting itu antara lain : 1. يوصيكم berarti الوصية yaitu العهد(janji) atas suatu perkara 2. ﻓﺮﻴﻀﺔ berarti (ﻣﺎﻓﺮﻀﻪﺍﷲﻮﺃﻮﺠﺒﻪ, apa-apa yang telah Allah tetapkan dan wajibkan. 3. ﻛﻼﻟﺔ berarti (ﻣﻦﻻﻮﻠﺪﻠﻪﻮﻻﻮﺍﻠﺪ), orang yang tidak memiliki anak ataupun ayah, sebatang kara, tidak memiliki sanak keluarga. 4. ﺤﺩﻭﺩﺍﷲ yaitu hukum-hukum Allah,  B. Sabâbu An-Nuzûl Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah berkata : bahwa sesungguhnya seorang wanita (isteri Sa’ad bin ar-Rabi’) mendatangi Rasulullah SAW. bersama kedua anak perempuannya, kemudian ia bekata: ”Wahai Rasulullah, ini adalah kedua puteri Sa’ad bin ar-Rabi’, ayahnya terbunuh bersama anda pada perang uhud sebagai syahid dan sungguh paman mereka telah mengambil harta mereka berdua dan tidak meninggalkan kepada mereka berdua harta. Dan mereka berdua tidak akan dinahkan kecuali dengan harta.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda :”Allah telah menentukan pada masalah itu (harta warisan).” Maka turunlah ayat mawaris ini (an-nisaa’:11-14). Kemudian Rasulullah menyampaikan ayat tersebut kepada paman mereka sebagai perintah agar ia memberikan harta waris kepada kedua puteri Sa’ad sebanyak 2/3 bagian, dan ibu mereka 1/8 bagian, dan yang sisanya adalah miliknya.   Maka sesungguhnya turunnya ayat ini adalah sebagai jawaban atas perkara waris pada masa sebelum Islam, bahwasannya waris itu hanya untuk anak laki-laki, sedangkan wasiat untuk orang tua, maka ayat ini menghapus hokum waris jahiliyyah. Dikatakan pula oleh turunnya ayat ini dengan sebab anak-anak perempuan dari Abdurrahman bin Tsabit saudara dari Hassan bin Tsabit, dikatakan “ Sesungguhnya pada masa jahiliyyah mereka tidak memberikan waris kecuali dari hasil peperangan dan pembunuhan musuh, maka turunlah ayat ini sebagai penjelas bahwa bagi setiap ahli waris baik itu besar atau pun kecil memiliki hak dalam mawaris. C. Syarhu al-Ayât  Firman Allah pada ( ﻴﻭﺻﻴﻛﻡﺎﷲﻓﻰﺃﻭﻻﺪﻛﻢ ) adalah penegasan berlakunya syari’at pada hukum mawaris sebagai penjelas dari ayat sebelumnya (ayat 10). Penegasan yang dimaksudkan adalah perintah Allah untuk berlaku adil pada masalah mawaris. Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat mulia ini, ayat-ayat setelahnya, hingga akhir adalah ayat-ayat berkenaan dengan ilmu faraid (waris). Yaitu yang dijelaskan dengan 3 ayat sesudahnya. (Ust. Ucup) Berkata Imam Syafi’I ( ﻴﻭﺻﻴﻛﻡﺎﷲﻓﻰﺃﻭﻻﺪﻛﻢ ) pada hakikatnya untuk anak kandung saja, sedangkan untuk cucu dan seterusnya masuk melalui majaz. Jadi jika diwasiatkan kepada anak, maka juga kepada cucu dan seterusnya. Imam Ibnu al-Mundzir bahwasannya ( ﻴﻭﺻﻴﻛﻡﺎﷲﻓﻰﺃﻭﻻﺪﻛﻢ ) mengandung kewajiban bagi setiap yang disebutkan dalam ayat tersebut, yaitu bagi segenap anak, juga kepada segenap kaum mukmin, serta kaum kafir.  Sedangkan penggunaan dari kata (ﻠﻠﺬ ﻜﺭ) sebelum ( ﺍﻷ ﻧﺛﻴﻳﻦ ) adalah sebagai bentuk penghormatan, dan bentuk tanggung jawab dari seorang laki-laki kepada perempuan. Ini bukan bentuk diskriminasi terhadap kaum wanita, tetapi bentuk tanggung jawab yang lebih besar antara laki-laki diatas perempuan. Hal ini dapat kita perhatikan juga, bahwa bagian seorang anak laki-laki ternyata ditentukan oleh bagian dari perempuan (disini bagian seorang laki-laki adalah bagian dua orang perempuan. Seperti dijelaskan pada:                ....   ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.....”   Hikmah lainnya adalah karena yang wajib memberikan nafkah itu adalah laki-laki, juga berusaha, berdagang, bekerja dan menanggung kepayahan. Maka untuk harta merekalah yang lebih membutuhkan. Adapun perempuan berada pada kuasa laki-laki. Dan juga wanita pada dasarnyahanay bertanggung jawab pada nafkah kepada dirinya sendiri, bukan kepada keluarga, berbeda dengan suami. Pada (ﺍﻠﺬ ﻜﺭ) kalimat ini memiliki makna tidak hanya laki-laki dewasa saja tetapi juga mulai dari bayi laki-laki hingga orang tua yang renta. Berbeda halnya jika menggunakan (ﺍﻠﺭﺠﺎﻞ), maka pengertian yang diambil adalah kembali ke pada pembagian waris dari hukum jahiliyyah, dimana yang berhak mendapat warisan adalah laki-laki dewasa saja.   Kalimat selanjutnya adalah ( ﻓﺈﻦ ﻛﺎﻦ ﻧﺴﺄ) hingga ( ﻓﺈﻦ ﻛﺎﻦ ﻠﻪ ﺇﺨﻭﺓ ﻓﻸﻣﻪ ﺍﻠﺴﺪﺲ) adalah pembagian harta yang telah cukup jelas sesuai dengan yang ditetapkan Allah SWT. Pembagian inilah yang hampir tidak ada perselisihan diantara ulama, karena penjelasan yang terperinci dalam ayat ini. Pembagian harta waris hendaklah dilakukan ketika semua kewajiban atas mayit telah diselesaikan. Sebagaimana terkandung dalam (ﻣﻦﺒﻌﺪﻭﺻﻴﺔ ﻴﻭﺻﻲ ﺒﻬﺎ ﺃﻭﺪﻴﻦ), sehingga dalam pembagian harta kelak sudah didapatkan bagian-bagian yang jelas, karena semua tanggungan berupa wasiat dan hutang telah dipenuhi. Kalimat ini diulang hingga hingga empat kali, mulai ayat 11 hingga ayat 12, menunjukkan betapa pentingnya melaksanakan wasiat dan membayarkan hutang-hutang dari si mayit agar terhindar dari mudharat. Tetapi pada akhir-akhir ini, yang sering muncul masalah pembagian harta waris diperselisihkan oleh orang-orang orientalis dan liberalis, sehingga memunculkan keragu-raguan tentang masalah keadilan pembagian warisan tersebut. Tetapi pembagian ini dalah bentuk keadilan yang Allah berikan, sesuai dengan (ﺀﺍﺒﺎﺆﻜﻢ ﻭﺃﺒﻨﺎﺆﻜﻢﻻ ﺘﺪﺮﻭﻦ ﺃﻴﻬﻢ ﺃﻘﺮﺐ ﻠﻛﻢ ﻨﻓﻌﺎ), menunjukkan bahwa keadilan itu mutlak milik Allah, karena pada dasarnya kita sendiri tidak tahu siapakah yang lebih banyak memberikan manfaat, lebih baik dan lebih berkasih sayang kepada kita. Yang tidak boleh kita lakukan adalah mengingkari keadilan dari pembagian tersebut, kenapa terjadi perbedaan antara bagian anak, ibu, ayah, dan lain-lain. Allah menjelaskan:  •                        •        ”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”  Karena Allah lah Yang Maha mengetahui dan Maha Bijaksana (ﺇﻦﺍﷲ ﻜﺎﻦﻋﻠﻴﻤﺎﺤﻛﻴﻣﺎ), sudah barang tentu pembagian inilah yang telah mengandung keadilan dan kebijaksanaan Allah. Tetapi (ﻮﺇﻦ ﻜﺎﻦ ﺮﺠﻞ ﻴﻮﺮﺚ ﻜﻼﻠﺔ), yakni jika tidak memiliki anak atau ayah, atau sanak keluarga dekat, maka hartanya dapat diwariskan kepada kerabat jauhnya ataupun dapat diserahkan kepada baitul maal disebabkan tidak adanya keturunan aslinya. Semuanya ini adalah ketentuan dari Allah, hukum dari-Nya (ﺘﻠﻚ ﺤﺪﻮﺪﺍﷲ) yang telah disyariatkan kepada kita hamba-Nya agar menjalankan sesuai dengan ketetapan-Nya dan tidak mengingkari-Nya. Dengan jelas Allah menegaskan bahwa hukum waris ini adalah hokum yang harus dijalankan, sebagaimana perintah-perintah ibadah yang lain. Jika kita perhatikan dengan seksama, hukum waris islam telah banyak terpinggirkan, tergeser dengan hukum-hukum waris adat dan juga hukum konvensional. Tentu hal itu cukup memperihatinkan karena hukum waris Islam termasuk syari’at Islam, hukum yang ditetapkan secara langsung oleh Allah, termasuk yang diperintahkan Rasulullah untuk dipelajari dan diajarkan, karena ia termasuk nishfu ’ilmi, maka kenapa kita harus berpaling darinya? Apakah kita akan membiarkannya secepat mungkin dicabut oleh Allah dari dunia ini? Dalam hadits Rasulullah : (ﺍﻠﻌﻠﻢﺛﻼﺛﺔﻮﻤﺎﺴﻮﻯﺫﻠﻚﻓﻫﻮﻓﻀﻞﺁﻴﺔﻤﺤﻜﻤﺔﺃﻮﺴﻨﺔﻗﺌﻤﺔﺃﻮﻓﺮﻴﻀﺔﻋﺎﺪﻠﺔ) , dimana pada ketiganya terdapat hukum-hukum yang wajib diamalkan dan dijalankan oleh segenap umat Islam. Ketetapan itulah yang memang telah disyari’atkan. Padahal Allah telah memberikan janji dengan imbalan surga bagi yang mentaatinya(... ﺍﻠﻠﻪ ﻴﻄﻊ ﻮﻤﻦ), bahkan kekal di dalamnya. Dan semuanya itu adalah keuntungan yang begitu besar, sebaik-baik balasan dari Allah SWT. (ﻮﺫﻠﻚﺍﻠﻓﻮﺰﺍﻠﻌﻆﻴﻢ) Tetapi ketika kita ragu, takut, atau bahkan enggan untuk berhukum dengan hukum Allah (ﻮﻤﻦﻴﻌﺺﺍﻠﻠﻪ) (dalam masalah ini adalah hukum mawaris dan juga hukum-hukum yang lain) ataupun yang lewat Rasulullah SAW. ( ﻮﺮﺳﻮﻠﻪ ) serta melanggarnya ( ﻮﻴﺗﻌﺪﺤﺪﻮﺪﻩ ), maka neraka adalah ancaman baginya untuk selamanya. Tidak hanya dimasukkan neraka saja tetapi juga dengan segenap adzab atau siksa yang menghinakan (ﻣﻬﻴﻦ ﻮﻠﻪﻋﺫﺍﺐ). D. Pokok Kandungan Ayat Ayat-ayat ini mengandung penjelasan tentang hukum waris dalam Islam. Allah SWT telah menjelaskan secara terperinci perihal pembagian setiap ahli waris. Sebagaimana telah diwasiatkan Allah Ta’ala pada ayat mawaris pada surat An-Nisaa’ (4) :11-14 dengan lengkap dan sempurna. Allah telah menjelaskan batasan-batasan dari hak kerabat secara universal dengan menyebutkan hukum-hukum waris dengan pembagian-pembagiannya sebagai penjelasan dari yang umum tersebut. Maka Allah menjelaskan bagian dari anak laki-laki dengan bagian perempuan, kemudian menyebutkan bagian ayah dan bagian ibu, kemudian bagian para suami dan para isteri, dan bagian saudara dengan bagian saudari.   Juga dengan konsekuensinya, baik yang mentaati dan juga melanggarnya. Sebagai bentuk keadilan dan kebijaksanaan Allah Azza wa Jalla.  E. Hukum, Petunjuk Dan Pelajaran Ayat Pada dasarnya khitab dari ayat mawaris ini adalah umum pada kematian orang yang mewariskan harta, juga kepada para hakim dan pemimpin serta kepada segenap kaum muslimin. Adapun disebutkan kepada orang yang meninggal (ﺍﻠﻤﻮﺘﻲ) agar segenap ahli waris mengetahui hak-hak mereka terhadap harta yang diwariskan setelah meninggalnya dan agar tidak terjadi perselisihan diantara mereka.  Ilmu dan Hukum waris pada ayat ini adalah sebagai salah satu rukun dari rukun-rukun agama, salah satu pilar dari pilar-pilar hukum, dan juga ibu dari ibunya ayat (waris).sehingga penggunaan hukum ini adalah wajib bagi setiap orang muslim tanpa terkecuali. Sebagaimana telah Allah tegaskan, hukum-hukum syari’at itulah yang harus ditegakkan. Sehingga untuk mempelajarinya dan mengamalkannya adalah hal yang wajib juga, seperti pada hukum-hukum Allah yang lain. Demikian juga yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Arab dalam Al-Ahkam al-Qur’an. Pada saat sekarang ini, waris kembali menjadi masalah yang sangat peka dan signifikan untuk dibahas, karena tidak jarang timbul perselisihan karena hal ini. Bahkan banyak kasus pembunuhan diantara saudara kandung ataupun antar anggota keluarga yang dipicu oleh pertentangan dalam mempertahankan harta waris tanpa mengindahkan hukum syari’ yang mengaturnya.  Ilmu faraid ini telah digunakan oleh Nabi SAW, segenap sahabat dan juga para ulama’ terdahulu. Sehingga tanpa pengecualian hukum ini adalah hukum yang wajib digunakan. Dengan jaminan yang telah diberikan Allah, tettu seharusnya tidak pernah ada keraguan pada diri umat Islam tentang bentuk keadilan atas hukum mawaris. Keyakinan itulah yang seharusnya ada pada diri kita, bukan sebaliknya menggunakan hukum yang lain, hukum yang dibuat oleh manusia sendiri. Allah berfirman :                                 ”Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya Telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka Telah diperintah mengingkari thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.”  Saat hukum Allah diselewengkan atau malah ditentang kebenarannya, maka sebenarnya pengaruh syeitan telah merasuki hati kita. Sebagaimana Allah jelaskan pada ayat di atas.  Padahal pembagian hak waris kepada ahli waris sesuai dengan ayat 11-12, mengindikasikan keadilan dimana yang menentukan adalah Dzat Yang Maha Adil, yakni Allah SWT. Sehingga saat kita mempertanyakan bentuk keadilan dari ketetapan Allah tersebut, maka berarti kita juga meragukan atas keadilan Allah. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya : ” Pelajarilah ilmu faraid dan ajarkanlah kepada manusia, sesungguhnya ia (ilmu faraid) adalah setengah dari ilmu, dan ia juga adalah perkara yang dilupakan, serta ilmu yang dicabut pertama kali dari dunia dari umatku.”   Disebutkan sebagai setengahnya ilmu, karena begitu pentingnya ilmu ini. Apalagi ilmu faraid adalah hukum yang pertama kali dilupakan oleh manusia, dan juga ia adalah ilmu yang akan dicabut pertama kali dari umat Islam. Untuk menjaganya, tidak lain hanya dengan mempelajarinya, dan mengajarkannya kepada manusia. Setelah itu diamalkan, digunakan dalam praktek pembagian harta warisan. Wallahu a’lam bish-shawab. KESIMPULAN
Dari pemaparan dan penjelasan singkat tersebut, dapat kita ambil kesimpulan berkenaan dengan Tafsir Surat an-Nisaa’ (2) ayat 11 sampai 14, yaitu: 1. Hukum Waris adalah salah satu ketetapan, hukum dan syari’at dari Allah bagi segenap umat Islam yang penetapannya dilakukan langsung oleh Allah. 2. Pembagian hak waris dalam ayat tersebut telah dipaparkan secara jelas, bagi setiap ahli waris sesuai dengan bagian-bagiannya. 3. Jumhur ulama’, baik ahli tafsir maupun ulama’ fikih telah bersepakat dalam masalah hukum mawaris ini, sehingga sedikit sekali perbedaan pendapat. 4. Janji surga bagi yang mentaati dan neraka dengan adzabnya bagi yang ingkar. G. Kepustakaan Ibnu Araby, Abi Bakar Muhammad bin Abdullah. Al-Ahkam Al-Qur’an. Thn terbit tidak diketahui. Daar Al-Fikri : Beirut. Al-Qurthubi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Anshori. Al-Jami’ lil Ahkaam al-Qur’an. 2003. Daar al-Kitab al-Araby : Beirut.  Al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin. Mahasin Al-Takwil juz 3. 1978. Daarul Fikri : Beirut. Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali. Fathul Qadir. 1983. Daar Al-Fikri : Beirut. Al-Imam Abu Abdullah, Taisiirul Mawaarits. Daarul Wafa, Al-Mansurah. Tahun terbit tidak diketahui. Ali ash-Shabuni, Muhammad. Shafwat at-Tafasir. 1999. Daar al-Kutub al-Islamiyyah : Jakarta. 
(penulis adalah mahasiswa jurusan hukum islam FIAI UII

IMPLEMENTASI KEPEMIMPINAN ISLAM DI INDONESIA

0 komentar
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi rabbil alamin selalu penulis panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi yang telah memberi islam, iman dan ihsan. Sehingga pada akhirnya penulis mampu menyelesaikan tugas makalah ini.  Shalawat teriring salam senantiasa penulis haturkan keharibaan Nabi Muhammad Saw yang telah menggulung tikar-tikar kekafiran dan untuk penggantinya beliau telah menebarkan panji-panji islam di muka bumi ini.  Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapa Drs. H. Sularno selaku pengampu mata kuliah yang bersangkutan. Karena tanpa kepercayaan Bapak kepada penulis tentu tugas ini tidak akan Bapak berikan kepada saya.  Akhir kata penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kesalahan, kekurangan dan ketidaktepatan argumen. Penulis sadar masih banyak kekurangan disana-sini yang harus ditutupi dan diperbaiki. Semoga apa yang telah penulis lakukan diridhoi Allah Swt, dan semoga apa yang penulis sumbangkan dapat bermanfaat bagi penulis khususunya dan bagi pembaca khususnya.  BAB I PENDAHULUAN Salah satu hal yang tidak bisa dihindari oleh manusia yang hidup di muka bumi ini adalah kepemimpinan. Sebagainama sabda Nabi Muhammad Saw dalam salah satu haditsnya yang sangat populer, yaitu :  “Setiap dari kamu adalah pemimpin, dan setiap dari kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya” Pelajaran yang dapat diambil dari hadits tersebut adalah bahwa setiap diri manusia secara tidak tidak disadari telah menjadi seorang pemimpin, ialah pemimpin bagi dirinya sendiri. Seseorang yang baligh dan tidak hilang akalnya akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di hari kiamat. Bagaimana ia memanfaatkan umur yang telah diberi, dipergunakan untuk apa segala kesempurnaan tubuh yang diberi, dan apakah telah sesuai dengan ajaran islam apa yang telah dilakukan serta bentuk pertanyaan-pertanyaan lain yang serupa dengan itu harus dipertanggungjawabkan.  Hal ini adalah sebuah konsekwensi yang harus diterima manusia sebagai makhluk yang mulia diantara makhluk-makhluk yang ada di dunia. ketika Nabi Adam ditanya oleh Allah Swt tentang kesanggupannya menjadi khalifah fil ardi, maka ia dengan cepat menyatakan dapat menyanggupinya.  Namun hal ini tidak berarti seseorang dapat seenaknya saja mengkambinghitamkan Nabi Adam sebagai Nabi pertama yang mau menerima amanat dimuka bumi ini. Ada faktor-faktor lain yang memang secara rasio seseorang dituntut untuk mempertanggungjawabkan kepmimpinannya. Diantara faktor-faktor yang ada adalah karena manusian dibekali oleh Allah Swt dengan akal. Organ inilah yang menjadikan manusia mendapat gelar makhluk yang sempurna. Akal yang merupakan pusat berfikir diharapkan dapat memilah dan memilih hal-hal yang dianggap baik atau dianggap buruk.  Kepemimpinan dalam islam merupakan kepemimpinan Allah Swt yang sifatnya mutlak. Dalam teknisnya kepemimpinan Allah Swt ini diwakilkan lewat para nabi dan orang mukmin. Hal ini karena secara logika tidak dapat diterima apabila Allah Swt yang langsung melaksanakan teknisnya karena kita tahu bahwa Allah Swt tidak terbatas dengan dimensi ruang dan waktu. Dalam dasawarsa terakhir ini banyak wacana yang mengangkat tentang kepemimpinan islam, terutama di Indonesia. Kepemimpinan islam di Indonesia yang mayoritas warga negaranya beragama islam nampaknya masih belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan ketentuan syari’at. Namun usaha untuk menuju kesana sudah dimulai sejak sebelum proklamasi kemerdekaan. Ini terlihat dari draf pancasila yang sekarang menjadi dasar negara Indonesia. Sila pertama yang awalnya mencantuman “dengan menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya” adalah bukti komitmen umat islam untuk terus menjunjung tinggi ajaran agama yang mulia ini.  Simbol atau nama kepemimpinan islam di Indonesia tidak dapat diterapkan dengan bentuk secara mentah-mentah. Artinya kepemimpinan islam di Indonesia akan tidak dapat teralisasi apabila menggunakan nama atau istilah dengan kepemimpinan islam. Terdapat sebuah kaidah yang mengatakan “al-ibrah fil islam bil jawhar wa la bil madzhar”. Artinya dasar yang menjadi patokan dalam perjuangan islam adalah substansinya dan bukan simbol formalitasnya.  Memang, pada dasarnya nama sangatlah mempengaruhi kredibilitas terhadap sesuatu yang menyandang nama tersebut. Namun permasalahannya sekarang adalah di Indonesia terdiri dari banyak agama yang masing-masing mempunyai ajaran. Apabila umat islam memaksakan berlakunya kepemimpinan islam dengan mencantumkan namanya, maka besar kemungkinan akan terjadi perang antaragama. Apabila terjadi demikian maka misi islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin bisa dikatakan gagal. Karena dengan menerapkan konsep kepemimpinan islam justru akan membuat perpecahan dalam suatu negara.  A. Pengertian Kepemimpinan Islam Dalam bahasa inggris kepemimpinan disebut dengan leadership, sedangkan dalam bahasa arab disebut dengan istilah khalifa, imamah, ziamah, atau imamah. Secara etimologi kepememimpinan berati daya memimpin atau kualitas seseorang pemimpin atau tindakan dalam memimipin itu sendiri. Secara terminologi terdapat beberapa definisi yang diungkapkan oleh para ahli. Menurut david dan newstrom, kemeimpinan atau leadership adalah suatu kemampuna membujuk orang lain aga dapat mencapai tujuan-tujuan terntentu yang telah ditetepkan. Dengan kata lain kepemimpinan adalah upaya untuk mentransformasi potensi-potensi yang terpendam menjadi kenyataan.  Sementara itu menurut Hadi poerwono kemepimpinan adalah seseoranga dalam mengkoordinasikan dan menjalin hubungan antra sesama manusia, sehingga mendorong orang lain uuntuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan hasil yang maksimal. Definisi tersebut tidak jauh berbeda dengan yang dikatakan oleh Fiedler, ytaitu kepemimpinan adalah tindakan membentuk hubungan kerja, memujui dan mengkritik anggota-anggota kelompok tersebut, serta menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan dan perasaan anggota-anggota yang dipimpinnya.  Berbeda dengan beberapa ahli diatas, Suhardi sigit mendefinisikan kepemimpinan sebagai hubungan dimana didalamnya orang yang dipimpin dan orang yang memimpin saling mempengaruhi agar mau bekerjasama berbagi tugas untuk mencapai keinginan si pemimpin. Sedangkan locke at all medefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses membujuk orang lain untuk mengambil langkah menuju sasaran bersama. (locke at all, 91).  Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulakan bahwa pada intinya kepmimpinan adalah suatu kegiatan atau seni untuk mempengaruhi perilaku orang-orang yang dipimpin agar mau bekerja menuju kepada satu tujuan yang ditetapkan atau dinginkan bersama. Dengan kata lain kepemimpinan merupakan masalah sosial yang didalamnya terjadi interaksi antara pihak yang dipimpin dan yang memimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan jalan mempengaruhi atau membujuk.  Hadari nawawi juga mengungkapkan pengertian tentang kepemimipinan ini. Namun beliau mengartikannya dari sudut pandang islam. Menurut beliau kepemimpinan dalam perspektif islam terbagi dalam dua pengertian, yaitu secara spiritual dan secara empiris. Secara spiritual kepemimpinan hanyalah bersumber dari Allah Swt yang telah menjadikan manusia sebagai khalifah dimuka bumu dan bersifat mutlak, sehingga dimensi kontrol tidak hanya terbatas pada interaksi antara pemimpin dan yang dipimpin, tetapi dua belah pihak harus mempertanggungjawabkan amanah yang diemban sebagai khalifah di bumi secara komperhensif. Secara empiris kepemimpinan islam adalah kegiatan menuju, membimbing, memandu, menunjukkan jalan yang diridhoi Allah Swt. Kegiatan ini bermaksud menumbuhkembangkan kemampuan mengerjakan sendiri bagi orang-orang yang dipimpin dalam usahanya mencapai ridho Allah Swt di dunia dan di akhirat.  Dalam islam, masalah kepemimpinan sebenarnya tidak jauh berbeda dengnan model kepemimpinan uang selama ini dilakukan oleh umumnya organisasi. Artinya bahwa prinsip-prinsip dan sistem-sistem yang digunakan dalam kemepimpinan islam ada persamaan dengan kepemimpinan pada umumnya. Pernasalahannya sekarang adalah bagaimana suatu kepemimpinan dapat dikatakan islami atau tidak? Mengenai hal ini paling tidak terdapat dua paradigma yang ditulis oleh Drs. H. M. Zainuddin, Lc., M.A dan abdul sumtaqin, M.Ag dalam bukunya studi kepemimpinan islam (telaah normatif dan historis). Pertama, paradigma legal-formalistik, yaitu yang mendasarkan kepada aspek-aspek formal keislaman. Misalnya nama organisasi itu adalah organisasi islam, asas-asas yang digunakan juga asas islam atau bahkan para pengurusnya harus beragama islam. Maka bagi yang menggunakan paradigma ini  B. Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Islam Sebagaimana agama yang sesuai dengan fitrah manusia, islam memnerikan prinsip-prinsip dasar dan tata nilai dalam rangka mengelola sebuah organisasi atai pemerintahan. Ada beberapa hal yang disyaratkan dalam al-qur’an dan sunnah mengenai beberapa prinsip pokok dan tata nilai berkaitan dengan kepemimpinan, kehidupan, bermasyarakat, berorganisasi, bernegara (baca: kehidupan politik), termasuk didalamnya dalam sistem pemerintahan yang nota-bennya merupaka kontrak sosial.  Berikut ini adalah prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang diajarkan dalam agama islam dalam hal yang berhubungan dengan kontrak sosial, yaitu : a. Prinsip tauhid prinsip tauhid merupakan salah satu dasar dalam sistem kepemimpinan (pemerintahan islam). Hal ini dapat dilihat dengan cara menyimak sejaran islam itu sendiri. Sebab perbedaan akidah yang fundamental dapat menjadi pemicu dan pemacu kekacauan suatu umat. Oleh karena itu, islam mengajak ke arah satu kesatuan akidah diatas atas dasar yang dapat diterima oleh berbagai umat, yakni tauhid. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam surat An-Nisa’ ayat 48, Ali Imran ayat 64 dan Al-Ikhlas ayat 1 dan 4.  •                        Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (An-Nisa’ : 48)  b. Prinsip syura (musyawarah)  secara etimologi, konsep “syura” merupakan bahasa serapan yang diambil dari bahasa arab. Arti dari “syura” tesebut adaalh mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembangn sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat dikeluarkan, termasuk pendapat. Sehingga musyawarah dapat berarti mengeluarkan atau mengajukan suatu pendapat. Musyawarah (syura) pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Dengan kata lain, keputusan musyawarah tidak dapat diterapkan untuk mengabsahkan perbuatan yang menindas pihak lain dan tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Meminjam bahasa al-qur’an, jangan sampai sura itu bertujuan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal yang jelas-jelas terdapat dalam nash al-qur’an dan sunnah.  Dalam menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan berorganisas dan bermasyarakat, manusia paling tidak mengenal tiga cara , yaitu 1) keputusan yang ditetapka n oleh penguasa, 2) keputusan yang ditetapkan oleh pandangan minoritas, 3) keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan mayoritas. Ketiga bentuk keputusan diatas biasanya menjadi ciri umum demokrasi, meskipun harus dicatat bahwa “demokrasi tidak identik dengan syura”. Prinsio musyawarah dalam islam jelas tidak sesuai dengan model keputusan yang pertama, sebab hal itu justru akan membuat syura menjadi “impoten” dan lumpuh. Demikian pula pada bentuk kedua, sebab hal ini akan menyisakan pertanyaan, apakah keistimewaan pendapat minoritas sehingga mengalahkan yang mayoritas? Walaupun syura dalam islam membenarkan keputusan pendapat mayoritas, tetapi pada dasarnya hal itu fidak bersifat mutlak. Demikian antara lain pendapat yang dikemukakan oleh Ahmad Kamal Abu al-majad dalam kitabnya “Hiwar La Muwajahah” sebagaimana dikutip oleh quraish Shihab. Sebab keputusan pendapat mayoritas tidak boleh menindas yang minoritas, melainkan tetap harus memberikan ruang gerak bagi mereka yang minoritas. Lebih dari itu, dalam islam suara mayoritas tidak boleh bertentangan dengan prinsip dasar syari’at.  c. Prinsip keadilan dalam memenej pemerintahan, keadilan menjadi suatu keniscayaan, sebab pemerintahan dibentuk antara lain agar tercipta suasana masyarakat yang adil dan makmur. Tidaklah berlebihan kiranya jika kemudian syikh al-Mawardi dalam Ahkan as-Sultabaniyyah-nya memasukkan syarat pertama bagi seorang imam atau pemimpin negara adalah mempunyai sifat adil. Bahkan sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa pemerintahan yang adil di bawah pemimpin yang kafir lebih baik dibanding pemimpin muslim tapi dhalim. Karena keadilam dalam memimpin merupakan syarat mutlak bagi terciptanya stabilitas sosial yang “sesungguhnya”, bukan stabilitas sosial yang “seolah-olah” karena adanya tekanan.  Dalam al-qur’an, konsep keadilan diungkapkan dengan kata al-adl, al-qisth, al-mizan. Keadilan menurut al-qur’an mengantarkan manusia kepada ketakwaan, dan ketakwaan akan mengantarkan kepada kesejahteraan.  Kata al-adl dalam al-qur’an dengan berbagai bentuknya terulang dua puluh kali. Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh para ulama mengenai keadilan.  Pertama, adil dalam arti sama; artinya tidak membeda-bedakan satu sama lain. Persamaan yang dimaksud disini adalah persamaan dalam hak. Misalnya dalam putusan hukum di pengadilan. Kedua, adil dalam arti seimbang; arti ini identik dengan kesesuaian (keproposionalan), bukan lawan dari kedhaliman. Dalam hal ini kesesuaian atau keseimbangan tidak mengharuskan persamaan dan kadar. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya. Ketiga, adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak itu kepada setiap pemiliknya. Inilah yang kemudian sering dikenal dengan dalam islam dengan istilah “wadh’u asy-syai fi mahallihi”, artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya. Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Allah Swt. Adil disini memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi. Dalam hal ini Allah memiliki hak atas semua yang ada sedangkan semua yang ada pada hakikatnya tidak memiliki sesuatu disisi-Nya.   d. Prinsip kebebasan (al-hurriyah) kebebasan atau huriyyah dalam pandangan islam sangat dijunjung tinggi, termasuk kebebasan dalam menentukan pilihan agama sekalipun. Bahkan secara tersurat Allah Swt memberikan kebebasan (Q.S. al-kahfi : 19) apakah sseseorang itu mau beriman atau kafir terserah. Sebab merupakan hak setiap manusia yang diberikan Allah Swt, tidak ada pencabutan hak atas kebebasan kecuali yang di bawah dan setelah melalui proses hukum.  Namun demikian, kebebasan yang dituntut oleh islam adalah kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan disini juga bukan berarti kebebasan tanpa batas, semaunya sendiri, melainkan kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan yang lain.   C. Dasar Konseptual Kepemimpinan Islam Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi keyakinan adanya satu Tuhan yang benar-benar menciptakan alam semesta beserta isinya ini. Hal tersebut berlaku juga pada kepemimpinan. Agama islam mengajarkan bahwa kepemimpinan yang sempurna dan mutlak hanyalah terdapat dalam kekuasaan Allah Swt. Artinya Allah Swt lah yang menguasai segala yang ada di dunia ini, baik yang hidup ataupun yang mati. Sedangkan dalam pengaplikasiannya kepemimpinan ini diserahkan kepada para rasul dan orang-orang mukmin.  Agama islam merupakan sumber kepemimpinan yang utama (dilihat dari pendekatan normatif). Pertanggungjawaban atas suatu kepemimpinan tidak hanya bersifat horizontal-formal sesama manusia saja, tetapi juga bersifat vertikal-moral, yakni tanggungjawab kepada Allah Swt di akhirat kelak. Seorang pemimpin boleh jadi telah dianggap lolos dari tanggungjawab formal di hadapan orang-orang yang dipimpinnya. Tetapi belum tentu ia dapat lolos ketika harus bertanggungjawab di hadapan Allah Swt. Kepemimpinan yang sebenarnya bukanlah suatu yang mesti menyenangkan, melainkan merupakan tanggungjawab sekaligus amanah yang amat berat dan harus diemban dengan sebaik-baiknya.  Bagi muslim terdapat larangan apabila yang dijadikan pemimpin diambil dari orang non muslim. Hal ini dimaksudka agar terhindar dari perbedaan keyakinan antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpin. Selain itu perbedaab keyakinan akan menghambat jalannya proses kepemimpinan. Karena keyakinan akan mempengaruhi kinerja serta cara berpikir seseorang, terlebih jika ia menjadi seorang pemimpin. Salah satu diantara sekian inilah yang menjadikan umat islam tidak boleh mengambil pemimpin dari luar agamanya. Penulis merasa dekimian juga dengan agama-agama yang lain, seperti agama katolik, agama protestan, agama hindu dan agama budha.  Islam sangat menjunjung tinggi kepribadian seorang pemimpin yang bertanggungjawab. Seorang pemimpin yang menjadi icon suatu masyarakat atau bangsa harus bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Sehingga diharapkan nantinya jika seseorang menjadi pemimpin ia tidak sewenang-wenang terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Banyak orang yang sering menyalah gunakan kedudukan ketika ia menjadi pemimpin. Pemimpin yang seharusnya mengayomi masyarakat yang dipimpinnya justru menjadi momok bagi masyarakat yang dipimpimnya. Rasa takut dan khawatir akan terjadinya suatu tindakan semena-mena terus menyelimuti benak mereka. Disinilah titik perlunya seseorang dituntut harus mempertanggungjawabkan atas kepemimpinan yang telah ia lakukan.  Pemimpin seyogyanya diambil dari internal kaumnya sendiri. Keuntungan yang diambil dari konsep ini diantaranya adalah pemimpin tersebut sedikit kemungkinan akan salah dalam menagani suatu masalah. Karena ia tahu betul kondisi masyarakat yang ia pimpin, karekteristik mereka satu sama lainnya dan alur kesepahaman yang telah terbentuk dalah pikiran pemimpin dan yang dipimpin. Allah Swt juga telah memperingatkan dalam al-qur’an surat Ali Imran ayat 118 bahwa :                           ••          Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.”  Selain beberapa hal diatas terdapat satu syarat yang harus dipenuhi seseorang ketika ia menginginkan jabatan sebagai pemimpin, yaitu seorang pemimpin harus profesional. Keprofesoinalan seorang pemimpin akan mempengaruhi kemajua suatu organisasi. Pemimpin adalah seorang yang harus pandai dalam membaca situasi dan keadaan sekitar. Tidak hanya sampai disitu saja, pemimpin harus juga pandai dalam berdiplomasi. Inilah guna dari seorang pemimpin yang profesinal. Sehingga diharapkan suatu organisasi yang mempunyai seorang pemimpin profesional tidak akan mudah tertipu oleh oknum-oknum yang tidak suka dengan organisasi tersebut.  D. Dasar Konseptual Kememimpinan Di Indonesia Menurut Drs. H. Sularno, MM dalam materi yang pernah disampaikan di perkuliahan terdapat tiga konsep kepemimpinan Indonesia yang dikemukakan oleh ki hajar dewantoro, yaitu :  a. Hing Ngarsa Sung Tuladha (Seorang pemimpin harus dapat menempatkan diri di depan dan berperan sebagai contoh teladan). b. Hing Madya Mangun Karsa (Seorang pemimpin harus dapat menempatkan diri di tengah-tengah rakyatnya dengan menciptakan kehendak dan kreativitas bersama rakyatnya). c. Tut Wuri Handayani (Seorang pemimpin harus dapat menempatkan dirinya di belakang dan berperan sebagai pemberi motivasi dan pendorong bagi rakyatnya. Seorang pemimpin diharapkan dapat menempatkan posisinya dimana saja dan berperan sesuai dengan posisinya. Ketika ia berada di belakang barisan maka ia diharapkan dapat memberi dorongan dan motivasi terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Ketika ia berada di tengah maka diharapkan ia bisa bekerjasama dengan masyarakatnya guna mencapai satu tujuan yang diinginkan bersama. Dan ketika ia berada di depan ia harus dapat menjadi contoh sebaik mungkin bagi masyarakatnya.  BAB II PEMBAHASAN A. Ideologi Pancasila Adalah Ideologi Islam Indonesia tidak bisa dipisahkan dari Islam. Islam telah melekat menjadi suatu hal yang mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupan rakyat di Indonesia. Bahkan Pancasila sendiri merupakan suatu ideologi yang berusaha mempertemukan prinsip Islam dengan perjuangan persatuan Indonesia pada saat perumusannya. Terlepas dari perdebatan dalam banyak literatur sejarah tentang kapan masuknya Islam ke Indonesia, pada saat ini Islam telah menjadi agama yang berinteraksi dengan berbagai kebudayaan daerah. Sejarah Wali Songo yang mendakwahkan Islam di tanah Jawa dan sekitarnya semakin memperjelas bahwa Islam dan kepemimpinannya mampu berakulturasi dengan berbagai budaya secara santun. Proses akulturasi antara Islam sebagai agama yang meliputi seluruh aspek kehidupan dengan budaya di Indonesia saat awal kedatangannya membuat Islam menjadi agama yang mampu diterima dengan mudah di Indonesia. Bahkan saat ini Indonesia masih bertahan sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.  Dalam mewujudkan kepemimpinan Islam di Indonesia dengan terang-terang menyebutkan “negara Indonesia adalah berkepemimpinan islam” tentu akan sangat sulit dilakukan. Terlebih jika harus merubah ideologi Pancasila yang ada pada saat ini dengan Ideologi Islam secara cepat dan memaksa. Lebih baik yang dilakukan umat islam di Indonesia adalah dengan menerapkan substansinya saja tanpa harus mengubah nama kepemimpinan itu sendiri sebagaimana yang telah penulis jelaskan dalam pendahuluan.  Indonesia merupakan negara yang berdaulat sehingga jika ingin melakukan hal tersebut harus dilakuakan kudeta/perlawanan terhadap negara seperti yang dilakukan oleh teman-teman dari Negara Islam Indonesia beberapa dekade yang lalu. Kudeta ini akan mengakibatkan penderitaan bagi rakyat dan kerugian bagi semua pihak tentunya. Akan tetapi, kesulitan itu bukanlah sebuah alasan agar kepemimpinan islam tidak ditegakkan, penegakan kepemimpinan islam dapat dimualai secara bertahap dan berkesinambungan. Serta perwujudan kepemimpinan islam di Indonesia tidak harus dalam bentuk sebuah negara, sehingga mengakibatkan konfrontasi dengan negara yang sudah ada. Bentuk kepemimpinan islam bisa saja diwujudkan dengan bentuk masyarakat yang mengamalakan dan mematuhi hukum-hukum dan aturan islam secara menyeluruh.  Kepemimpinan islam dengan wujud masyarakatnya yang Islami akan lebih mungkin untuk dikembangkan di Indonesia dan mudah untuk ditiru di negara-negara lainnya. Karena tidak akan ada konfrontasi dengan pihak institusi pemerintahan dan hal ini pun dilindungi oleh hak asasi manusia yang menjamin kebebasan beragama. Bentuk kepemimpinan seperti ini harus diawali oleh bagian terkecil dari sebuah masyarakat, yaitu manusia itu sendiri secara pribadi. Jika sudah tercipta individu-individu yang memiliki kepemimpinan islam maka dengan suatu ikatan perkawinan antar individu tersebut (laki-laki dan perempuan) maka akan tercipta keluarga yang berkepemimpinan islam, dan selanjutnya akan tercipta masyarakat yang islami, dan pada tingkatan yang lebih tinggi lagi akan lahir sebuah negara yang masyarakatnya memegang teguh kepemimpinan islam.  Itulah kepemimpinan islam, dibangun dengan cara-cara yang ma’ruf (benar) dan dapat menjadi rahmat bagi semesta alam. Memang untuk mewujudkan hal itu tidaklah mudah, penuh rintangan dan tantangan.   B. Konsep Kepemimpinan Islam di Indonesia  Melihat dari konsep kepemimpinan islam dan konsep kepemimpinan Indonesia yang telah penulis sedikit jabarkan dalam pendahuluan terdapat persamaan jika dilihat secara luas. Dalam kepemimpinan islam konsep dasarnya dijabarkan secara lebih detail dan menyebutkan kata “islam”. Sedangkan dalam kepemimpinan Indonesia konsep yang dibangun atau diusung disebutkan secara menyeluruh (lebih umum) dan tidak menyebutkan kata islam didalamnya. Walaupun sesungguhnya substansi yang ada didalamnya diambil dari substansi yang ada dalam islam. Hal ini dipengaruhi juga oleh keyakinan yang dianut oleh ki hajar selaku pencetus konsep tersebut.  Penulis merasa hal ini lebih adil jika diterapkan di Indonesia. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin tidak harus selalu mencantumkan lebel islam dalam setiap sendi kehidupan masyarakat. Memang secara kuantitas penganut agama islam di Indonesia jauh lebih banyak dari dari penganut agama-agama yang lain. Namun bukan berarti sebagai mayoritas kemudian seenaknya saja mau merubah ideologi yang telah dicetuskan oleh para pejuang yang berusaha mempertahankan kedaulatan idnonesia. Di lain sisi apabila gagasan kepemimpinan islam begitu saja di terapkan di Indonesia maka akan banyak penolakan disan-sini. Hal tersebut disasumsikan merupakan tindakan diskriminasi terhadap suatu masyarakat, mengingat negara Indonesia tidak hanya terdiri dari agama islam saja. Dalam islam sendiri perbuatan diskriminasi tidak diperkenankan untuk dilakukan.  Hal ini akan lebih mengena kepada visi dan misi islam sebagai agama rahmatan lil alamin sebagaimana yang telah penulis sebutkan diatas. Rahmatan lil alamin tidak harus menggunakan kepemimpinan islam. apalah artinya jika dengan diberlakukannya kepemimpinan islam akan menimbulkan banyak pemberontakan.  Islam dan Indonesia memiliki sebuah kaidah moderat dalam mengkombinasikan adanya fenomena kultur individual dan kultur kolektif. Sehingga yang dibangun tidak hanya pemimpin secara individual, tetapi mampu melingkupi kepemimpinan kolektif yang merupakan creative minority bagi revolusi putih perubahan Indonesia bahkan dunia. Terlepas dari bentuk kepemimpinan Islam seperti apa yang dibangun, kepemimpinan Islam yang dibangun di Indonesia memiliki tanggung jawab membumikan Islam yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Sehingga sejarah kepemimpinan Islam pada jaman Rasulullah SAW dan sahabatnya yang mampu membuat penduduk non-muslim nyaman dinaungi kepemimpinan Islam akan berulang dalam konteks kekinian, dimulai dari Indonesia.  C. Kepemimpinan Indonesia Memakai Prinsip Islam  Dalam literatur sejarah, memang Indonesia tidak pernah tercatat melahirkan pemimpin Islam yang terdengar ke seluruh dunia. Sejarah sering mencatat kelahiran para pemimpin Islam dari Timur Tengah. Misalnya saja Imam Khomeini yang berhasil mengadakan Revolusi Iran, dan penerusnya Ahmadinejad yang dengan kepribadian yang kuat berhasil mendapatkan banyak penghormatan dari dunia Internasional, selain kecaman yang juga dirasakannya. Namun jika kita mengkajinya lebih dalam. kepemimpinan mereka dibentuk dari sebuah kultur yang homogen, sehingga dalam tataran dunia, Imam Khomeini maupun Ahmadinejad belum mampu untuk mencari titik temu diantara negara-negara Islam apalagi dengan negara-negara non-muslim. Kenihilan sejarah tentang tidak penah terlahirnya pemimpin Islam yang mendunia dari Indonesia tidak menjadi argumen yang kuat bagi lahirnya pemimpin Islam dari Indonesia masa depan. Dengan realitas keberagaman yang mendidik pemimpin menjadi adil serta kondisi perpolitikan Indonesia yang bebas untuk menjadi tempat berinteraksi berbagai ideologi, prediksi mengenai kepemimpinan Islam yang berasal dari Indonesia menjadi semakin meyakinkan. Bahkan ulama besar tingkat dunia, DR. Yusuf Qordowi, dari jauh-jauh hari telah memberikan hipotesisnya bahwa kebangkitan Islam sebagai rahmat bagi semeta alam akan lahir dari Indonesia. Jika kita mengkaji lebih dalam mengenai prinsip kepemimpinan Indonesia, akan ada banyak prinsip yang terdapat korelasinya dengan prinsip dalam kepemimpinan islam. sebagaimana yang penulis sedikit jabarkan dalam pendahuluan mengenai prinsip kepemimpinan islam, ternyata dalam kepemimpinan Indonesia pun prinsip tersebut digunakan. Prinsip ketauhidan yang diajarkan oleh agama islam telah diterapkan dalam dasar negara Indonesia butir pertama. Sesungguhnya jika dipahami secara lebih mendalam dan seksama disertai dengan kejujuran dari setiap individu masyarakat Indonesia, maka seharusnya tidak ada agama kecuali islam yang boleh ada di Indonesia. Karena butir pertama pancasila menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah berketuhanan yang Maha Esa, dan bukan berdasar kepada dua atau tiga Tuhan.  Dalam kesepakatan untuk mencapai mufakat atau biasa disebut musyawarah. Hal ini juga sudah tertuang dalam pancasila butir keempat. Nilai yang terdapat didalamnya adalah bahwa hakikat negara adalah penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Hakikat rakyat merupakan sekelompok manusia sebagai makhluk Tuhan yang Mana Esa yang bersatu dengan tujuan mewujudkan hakrat dan martabat dalam suatu wilayah negara. Sehingga dalam sila ini telah terkandung nilai demokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan dalam kehidupan negara.   Sila kedua pancasila juga merupakan cerminan dari prinsip kepemimpinan islam, yaitu kebebasan. Kalimat “kemanusiaan yang adil dan beradab” yang mengisi sila kedua ini mengandung banyak nilai, diantaranya (1) adanya kebebasan yang harus disertai dengan tanggungjawab baik terhadap masyarakat bangsa secara moral terhadap Tuhan yang Maha Esa (2) menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan (3) menjamin dan memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam hidup bersama (4) menagkui atas perbedaan individu, kelompok, ras, suku, agama, karena perbedaan adalah suatu bawaan kodrat manusia (5) mengakui adanya persamaan hak yang melekat pada setian individu (6) mengarahkan perbedaan dalam suatu kerja sama kemanusiaan yang beradab (7) menjunjung tinggi asas musyawarah sebagai moral kemanusiaan yang beradab (8) mewujudkan dan mendasarkan suatu keadilan dalam kehidupan sosial agar tercapainya tujuan bersama.  Dalam al-qur’an prinsip kebebasan termaktub dalam suara al-kahfi ayat 19, yaitu :              •                         •      Artinya : “Dan Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.”  Prinsip keadilan, yang sekarang terefleksi dalam sila kelima pancasila, termasuk juga prinsip kepemimpinan islam. nilai yang terkandung didalamnya merupakan tujuan negara sebagai tujuan hidup bersama. Keadilan tersebut disadari dan dijiwai oleh keadilan hakikat keadilan manusia, yaitu keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia yang lain, manusia dengan masyarakat, bangsa dan negaranya serta hubungan manusia dengan Tuhan.   Secara garis besar kepemimpinan islam di Indonesia dapat terlaksana sesuai tuntunan ajaran agama islam, walaupun penerapannya dilakukan secara berbeda dan bertahap. Kepemimpinan islam di Indonesia sebagaian besar sudah terwakili, seperti presiden Republik Indonesia yang sejak dari kemerdekaan Indonesia hingga sekarang selalu dapat dipegang oleh masyarakat islam. Para menteri yang diangkat sebagai pembantu presiden juga sebagaian besar dipegang oleh pejabat yang beragama islam. ini membuktikan secara de facto kepemimpinan islam di Indonesia dapat disebut sebagai kepemimpinan islam, walaupun secara de jure hal ini tidak dapat dikatakan sebagai kepemimpinan islam.  BAB III PENUTUP Dari beberapa uraian sub bab diatas, penulis dapat sedikit menyimpulkan sebagai berikut, bahwa :  1. Kepemimpinan islam di Indonesia tidak dapat diterapkan jika menggunakan kata “islam” dalam kepemimpinan Indonesia.  2. Pada dasarnya kepemimpinan Indonesia sudah memakai prinsip-prinsip ajaran agama islam.  3. Konsep kepemimpinan islam di Indonesia tertuang dalam tiga butir pemikiran yang disampaikan oleh ki hajar dewantoro.  4. Kepemimpinan islam di Indonesia sejak dari dari pertama berdirinya negara ini dapat dikatakan sudah menerapkan substansi kepemimpinan islam, walaupun secara de jure hal tersebut belum dapat dikatakan demikian.  DAFTAR PUSTAKA al-mawardi, Abul hasan ali bin muhammad bin habib bin al-bashir.  Haekal, Muhammad Husein. Tth. Al-Hukumatul Islamiyah. Darul Ma’arif: Kairo. Kaelan, DR. M.S. 2004. Pendidikan Pancasila. Paradigma: Yogyakarta. Sularno, Drs. H. M.Ag. 2008. Materi studi kepemimpinan islam.  Suhilman, Ardhesa Fikriana. 20 Agustus 2008. www.google.com. Seaech “Sebuah Jalan Menuju Kepemimpinan Islam”.  Shihab, M. Quraish. 1999. Wawasan Al-qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat. Mizan: Bandung. www.google.com. Seaech “Kepemimpinan Islam di Indonesia”. 1 Juni 2008. Zainuddin, Muhadi, Drs. H., Lc., M.A dan abdul mustaqim, M.Ag. Studi Kepemimpinan Islam (Telaah Normatif Dan Historis). Al-muhsin Press: Yogyakarta. ------------- Al-qur’an karim dan terjemahan artinya. 2007. UII Press: Yogyakarta. (penulis adalah mahasiswa jurusan hukum islam FIAI UII) 

Sabtu, Mei 02, 2009

Korelasi Antara Pajak dan Zakat

0 komentar
BAB I  KATA PENGANTAR Puja dan puji syukur kita panjatkan kehadirat Alloh SWT. Atas berkat rahmat-Nya akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Korelasi zakat dan Pajak, ini tepat pada waktu yang telah ditentukan, dalam makalah ini kami akan sedikit membahas tentang hubungan antara zakat dan pajak yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Seterusnya kami haturkan terimakasih kepada bapak dosen yang telah mepercayakan tugas makalah ini kepada saya, serta permohonan maaf saya sampaikan sebelumnya atas ketidak sempurnaan makalah ini, baik dari segi penulisan atu isi karena kami sadar dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan-kekurangan, dan mungkin banyak terdapat kesalahan-kesalahan baik yang kami sadari atau tidak, maka dari itu kami sangat mengharapkan bimbingan dan penilaian dari bapak dosen serta kritik dan saran dari teman-teman demi penyempurnaan dan kelengkapan makalah ini. Bab II Pembahasan A. Pajak di Indonesia dan Problema Zakat Pembahasan ini akan mengemukakan tentang pelaksanaan zakat bagi Ummat Islam Indonesia, kaitannya dengan pajak yang dikenakan oleh pemerintah kepada rakyat, termasuk di antaranya Ummat Islam sebagai mayoritas penduduk. Zakat adalah kewajiban agama, sedang pajak merupakan ketentuan yang diterapkan dan dipungut oleh pemerintah.  Dalam pelaksanaannya, zakat selama ini tidak diatur secara khusus oleh negara dengan undang-undang. Terakhir, dikeluarkan Undang-undang Zakat tahun 1999, yaitu Undang-undang No 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam undang-undang itu tidak ditegaskan tentang pemungutan zakat, penghitungan harta muzakki oleh petugas zakat, dan bahkan tidak ada ketentuan snksi atau hukuman bagi pembandel zakat alias yang tidak mengeluarkan zakat atau tidak mematuhi ketentuan zakat.  Sementara itu mengenai pajak justru telah komplit, baik Undang-undangnya, perangkatnya, dan penanggulangan berbagai masalahnya. Hingga Undang-undang perpajakan terdiri dari 5 undang-undang yang disahkan Presiden 1997, dan dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan Presiden Soeharto di Jakarta, 7 Oktober 1997, dan mulai diberlakukan 1 Januari 1998.  Kenyataan seperti tersebut di atas mengandung problematika, dan itu memerlukan pembahasan di antaranya sebagai berikut:  1. Tentang kewajiban berzakat itu sendiri, bagaimana ketentuannya dalam Islam.  2. Ketentuan zakat menurut undang-undang.  3. Pajak ditinjau dari ajaran Islam.  4. Ketentuan pajak menurut undang-undang.  5. Pelaksanaan zakat dan pajak dan problematikanya.  B. Zakat Menurut Undang-Undang  Indonesia yang berpenduduk mayoritas (90-an persen) Muslim ini setelah mengalami kemerdekaan selama 54 tahun sejak 1945 dan telah berganti presiden 3 kali (Soekarno, Soeharto, kemudian BJ Habibie) barulah memutuskan Undang-undang Zakat. Undang-undang itu bernama Undang-undang No 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, disahkan di Jakarta, 23 September 1999 oleh Presiden RI, Bacharuddin Jusuf Habibie. Dan pada tanggal itu pula diundangkan oleh Menteri Negara Sekretaris Negara RI, Muladi, dengan Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 164. Undang-undang pengelolaan zakat itu terdiri dari 10 bab, berisi 25 pasal dilengkapi dengan penjelasannya.  C. Pajak Menurut Islam  Pajak atau dharibah diambil dari kata dharaba yang artinya utang, pajak tanah atau upeti dan sebagainya. Yaitu suatu yang mesti dibayar, sesuatu yang menjadi beban.  Termasuk dalam pengertian tersebut apa yang dikatakan Al-Qur’an: “Dan ditimpakan atas mereka kehinaan dan kemiskinan.” (QS 2:61).  Demikian, biasanya orang memandang pajak sebagai paksaan dan beban yang berat.   Pajak yang diakui dalam sejarah Islam dan dibenarkan sistemnya, menurut Dr Yusuf Al-Qaradhawy, harus memenuhi syarat-syarat di antaranya:  1. Benar-benar harta itu dibutuhkan (negara) dan tidak ada sumber lain.  2. Pembagian beban pajak harus adil.  3. Pajak hendaknya untuk membiayai kepentingan umat, bukan untuk maksiat dan hawa nafsu.  4. Atas persetujuan para ahli dan cendekia.  Dalam hal pungutan pajak, para ulama melandaskan bolehnya memungut pajak itu dengan landasan mashalihul mursalah dan kas negara dalam keadaan kosong. Al-Ghazali yang bermadzhab Syafi’i di mana beliau termasuk ulama yang sangat sedikit menggunakan kaidah mashalih al-mursalah, mengatakan bahwa apabila kas negara itu kosong dan tak ada biaya yang mencukupi untuk pengeluaran biaya militer sedangkan ditakutkan masuknya musuh ke dalam negara Islam, atau tumbuhnya pemberontakan dari pihak mereka yang bermaksud jahat, maka dibolehkan kepada negara memungut biaya dari orang kaya sekedar dapat mencukupi pembiayaan tentara, karena kita mengetahui bahwa apabila timbul dua bahaya maka syara’ mengharuskan menolak bahaya yang lebih besar. Beban yang diberikan kepada orang kaya itu lebih kecil bahayanya dibanding dengan bahaya yang mengancam jiwa dan hartanya, jika di negeri itu tidak terdapat kepala negara yang kuat yang dapat memelihara segala urusan dan menolak segala bahaya. .  Mengenai syarat bolehnya penguasa memungut pajak asal kas negara sudah kosong, ada sejarah khusus yang terkenal yaitu sikap Imam Nawawi terhadap Sultan yang meminta fatwa para ulama untuk membolehkan memungut pajak.  Sikap berani dilakukan oleh Imam Nawawi terhadap Sultan Dhahir Baibras. Tatkala Dhahir hendak berperang melawan tentara Tartar di negeri Syam, dalam baitul mal tidak terdapat biaya yang cukup untuk perbekalan tentara dan biaya bagi yang ikut perang. Para ulama negeri Syam memberi fatwa boleh mewajibkan pungutan terhadap rakyat untuk membantu Sultan dan tentara dalam memerangi musuh dan untuk menutupi biaya-biaya yang diperlukan.  Para ulama memberikan fatwa kepadanya dengan membolehkan pungutan itu atas dasar kebutuhan dan kepentingan, lalu mereka pun menuliskan fatwa itu kepadanya, sedangkan Imam Nawawi tidak hadir. Ketika Sultan bertanya kepada para ulama, apakah masih ada yang lain? Mereka berkata: “Ya. Yaitu Syekh Muhyiddin An-Nawwai.” Kemudian beliau diminta hadir dan beliau pun datang.  Sultan berkata kepadanya: “Berikan tanda tangan anda bersama para ulama lain!” Tapi Syekh itu tidak bersedia. Sultan menanyakan apa alasan penolakannya. Syekh itu berkata: “Saya mengetahui bahwa dahulu Sultan adalah hamba sahaya dari Amir Bunduqdar, anda tak mempunyai apa-apa, lalu Allah memberikan kekayaan dan dijadikannya Raja, saya mendengar anda memiliki 1000 orang hamba, setiap hamba memiliki pakaian kebesaran dari emas, dan anda pun memiliki 200 orang jariyah, setiap jariyah mempunyai perhiasan, apabila anda telah nafkahkan itu semua dan hamba-hamba itu hanya memakai kain wol saja sebagai pengganti pakaian indah itu, begitu pula jariyah-jariyah itu hanya memakai pakaian-pakaian saja tanpa perhiasan, maka saya berfatwa boleh memungut biaya dari rakyat.  Sultan Dhahir pun marah atas kata-kata Syekh itu dan ia berkata: “Keluarlah dari negeriku Damaskus! Syekh itu menjawab: “Saya taati perintah Sultan.” Dan pergilah beliau ke Nawa.  Para ahli fiqh berkata kepada Sultan, beliau itu adalah ulama besar, rekan kami dan panutan bagi banyak orang. Lalu Syekh itu diminta kembali ke Damaskus, tetapi beliau menolak dan berkata: “Saya tak akan masuk ke Damaskus selagi Dhahir ada di sana.” Sebulan kemudian Sultan pun mati.  Di antara tulisannya yang ditujukan kepada Sultan Dhahir Baibras yang berisi nasihat mengatakan dengan jelas apa yang dikehendaki hukum syara’. Ia berkata: “Tidak halal memungut sesuatu dari rakyat selagi dalam baitul maal masih ada uang atau perhiasan, tanah atau ladang yang dapat dijual, atau hal-hal selainnya.” D. Larangan Memungut Muks Banyak hadits Nabi saw yang mencela harta pajak (muks) dan para pemungutnya, dan mereka diancam dengan api neraka dan diharamkan masuk surga.  Dari Abu Khair ra ia berkata: “Maslamah bin Mukhallad –gubernur Mesir- menolak untuk menyerahkan ‘usyur (1/10) kepada Riwaifi bin Tsabit, sambil berkata: “Saya dengar Rasulullah saw mengatakan, bahwa pemilik muks itu dalam neraka.” (Hadits Riwayat Ahmad dari Riwayat Ibnu Luhaiah dan At-Thabrani. Ia menambahkan dengan kata “ya’n al-‘asyir”).  Dari ‘Uqbah bin Amir, sesungguhnya ia dengar dari Rasulullah saw berkata: “Tidak akan masuk surga pemilik harta muks.” (Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahihnya dan Hakim dengan berkata, hadits itu shahih dengan syarat Muslim).  Kedua hadits tersebut, menurut Yusuf Al-Qaradhawy, menguatkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya mengenai berita seorang perempuan yang berzina dan hamil. Nabi saw melaksanakan hukum rajam atas pengakuan dirinya, setelah perempuan pezina itu melahirkan dan menyusui anaknya.  Dalam hadits itu dinyatakan bahwa perempuan ini telah benar-benar bertaubat, dan jika sekiranya pemilik muks itu bertaubat seperti perempuan ini, tentu Allah akan mengampuninya serta menerima taubatnya.  Hadits itu menunjukkan betapa besarnya dosa pemilik muks itu, sehingga dibandingkan dengan perempuan berzina, hamil, dan beranak. Ini merupakan ancaman yang amat keras.  Di antara hadits riwayat Tabrani dalam Al-Kabir, dengan sanadnya dari Usman bin Abil Ash dari Nabi saw: “Sesungguhnya Allah dekat kepada hambaNya. Ia mengampuni dosa yang minta ampun kepadaNya, kecuali orang yang berdosa besar, dengan farjinya, atau pemilik al-‘usyur” (1/10). (Disebutkan dalam Majma’ az-Zawaaid, jilid 3, hal 88 dengan beberapa kata dari al-Kabir dan al-Ausath. Juga dari Ahmad. Ia berkata, sanad-sanad Ahmad adalah sanad shahih kecuali Ali bin Zaid, menurut sebagian orang ia dapat dipercaya).   Apakah Muks Itu?  Ibnul Atsir dalam kitab An-Nihayah berakta, muks ialah pajak yang dipungut dengan tarif 10%. Al-Baghawi berkata: “Yang dinamakan pemilik muks ialah orang yang memungut pajak 1/10 dari para pedagang yang lewat padanya.” Al-Mundziri berkata: “Adapun sekarang pemilik muks itu ialah yang memungut pajak dengan nama ‘usyur dan pajak-pajak lain yang tidak pakai nama, bahkan segala sesuatu yang mereka pungut dengan jalan haram dan dosa. Mereka makan harta itu seolah-olah mereka makan api neraka dalam perutnya. Alasan mereka dipatahkan di hadapan Tuhannya. Bagi mereka murka Allah dan siksa yang pedih.” Munawi berkata: “Mengenai syarah hadits ini dalam At-Taisir: Sesungguhnya úsyur itu wajib atas orang Yahudi dan Nasrani. Apabila terhadap mereka dibuat perjanjian tentang ‘usyur, atau bagi mereka yang masuk negeri kita untuk berdagang dan dikenakan atas mereka ‘usyur atau dengan cara lain mewajibkan atas mereka. ‘Sedangkan terhadap kaum muslimin tidak ada usyur selain usyur zakat’. “ Inilah asal haramnya memungut pajak muks dari orang Islam.  Meskipun demikian, Al-Qaradhawy menyanggah diharamkannya pemungutan pajak terhadap muslimin, dengan mengemukakan: “Adapun pajak-pajak yang diwajibkan dengan syarat-syarat yang telah kita sebutkan dan dipergunakan untuk membiayai anggaran belanja negara, menanggulangi kebutuhan negara untuk produksi dan pelayanan, juga untuk membiayai keperluan militer, ekonomi, kebudayaan, dan lain-lain. Juga untuk membangun dalam segala lapangan sehingga yang bodoh bisa belajar, penganggur memperoleh pekerjaan, yang kelaparan bisa makan, yang takut merasa aman, dan yang sakit dapat diobati. Adapun pajak-pajak yang mempunyai tujuan seperti itu tidak diragukan lagi dibolehkan oleh Islam, bahkan sekarang diwajibkan. Pemerintah Islam berhak mewajibkan pajak dan memungutnya dari rakyat sesuai dengan kebutuhan.”   Pajak Menurut Undang-undang di Indonesia  Pajak menurut undang-undang adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, menurut Peraturan Perundang-undangan.  Penerapan pajak di Indonesia dilengkapi dengan 5 undang-undang tahun 1997 yang mengatur:  1. Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (UU no 17/ 1997).  2. Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. (UU No 18/ 1997).  3. Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. (UU No 19/ 1997).  4. Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. (UU No 20/ 1997).  5. Tentang Bea Perolehan hak Atas Tanah dan Bangunan. (UU No 21/ 1997.  Undang-undang itu disertai dengan Keppres No 41/ 1997, disahkan mulai berlaku 1 Januari 1998.  Dengan kelengkapan perangkat perundang-undangan perpajakan baru tersebut terdapat kepastian serta dasar penerapan dan penegakan hukum antara lain terhadap tatacara penagihan atas berbagai jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah.  Jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat atau Pajak Pusat adalah:  1. Pajak Penghasilan,  2. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa,  3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah,  4. Pajak bumi dan bangunan,  5. Bea masuk dan cukai.  6. Bea meterai, dan  7. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.  Jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah Daerah atau Pajak daerah adalah:  a. Pajak kendaraan bermotor,  b. Bea balik nama kendaraan bermotor,  c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor,  d. Pajak hotel dan restauran,  e. Pajak hiburan,  f. Pajak reklame,  g. Pajak penerangan jalan,  h. Pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan c, dan  i. Pajak atas pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.  Sistem perpajakan Indonesia dilengkapi dengan tatacara pelaksanaan penagihan hutang pajak. Di dalam Undang-undang No 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dan Surat Paksa pelaksanaan penagihan pajak telah diatur sedemikian rupa.  Tahapan pelaksanaan penagihan pajak adalah sebagai berikut:  1. Penagihan Teguran;  2. Penerbitan Surat Paksa;  3. Melakukan Penyitaan;  4. Melakukan Pelelangan.  Penagihan yang sedemikian rupa itu, apabila ada penyimpangan pelaksanaan penagihan pajak, maka Wajib Pajak diberi hak untuk mengajukan gugatan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, yang diatur dalam UU No 17 tahun 1997.  Problematika Zakat dan Pajak di Indonesia  Setelah jelas hukum dan pelaksanaan zakat dan pajak di Indonesia, maka perlu dibahas, apa saja problematika zakat dan pajak di Indonesia.  E. Zakat bisa mengurangi pajak, namun ada beberapa masalah  Dalam penjelasan UU Tentang Pengelolaan Zakat pasal 14 ayat (3) disebutkan: Pengurangan zakat dari laba/ pendapatan sisa kena pajak dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban membayar zakat dan pajak. Kesadaran membayar zakat dapat memacu kesadaran membayar pajak.  Meskipun demikian, Undang-undang ini mengandung beberapa problema di antaranya:  1. Tidak memberikan tanggung jawab atas amil zakat atau BAZ (Badan Amil Zakat) untuk bertindak dan bertanggung jawab memungut zakat terhadap muzakki.  2. BAZ tidak ada tugas bertanggung jawab meneliti dan menghitung harta muzakki. Sedangkan muzakki sama sekali tidak ada sanksi dalam hal melanggar ketentuan-ketentuan zakat.  3. Tidak ada mekanisme yang jelas apbila muzakki membagi-bagi zakatnya kepada mustahiq. Apakah perlu memberikan bukti pembayaran zakat kepada BAZ, kemudian disahkan oleh BAZ, dan semestinya bisa digunakan sebagai bukti ketika membayar pajak, guna mendapatkan pengurangan, sesuai dengan besar zakat yang telah dikeluarkan.  4. Dari teks undang-undang tentang Pengelolaan Zakat bisa dibaca bahwa pembayaran zakat “otomatis” lebih kecil dibanding pembayaran pajak. Istilah “pengurangan” dalam hal beban wajib pajak dengan bukti telah berzakat, itu mengandung makna bahwa pajak mesti lebih besar daripada zakat. Lantas, bagaimana seandainya orang menemukan harta rikaz yang nilai zakatnya berkali lipat dibanding pajak? Sekalipun pajak sudah “dipastikan” lebih besar daripada zakat, maka dalam kasus zakat jauh lebih besar daripada pajak, mengandung problematika. a. Apakah pihak pajak berarti punya utang terhadap muzakki?  b. Apakah muzakki setiap tahun cukup menunjukkan bukti zakat, kemudian dalam sekian tahun terbebas dari pajak, atau  c. Bukti zakat itu hanya berlaku sekali, pada tahun dia berzakat.  5. Bisa terjadi pihak muzakki menjadi pihak yang terdhalimi, misalnya ada institusi yang langsung memotong zakat terhadap karyawannya, dan tidak memberikan bukti setor zakat. Dan kalau memberikan kartu bukti telah bayar zakat pun, kalau tidak ada pengesahan dari BAZ, apakah pihak perpajakan mau menerimanya?  F. Problem dari segi sistem hukum.  1. Sistem perpajakan di Indonesia telah sedemikian rapinya, sehingga tahap-tahap yang mencekam bagi masyarakat yaitu penagihan pun telah diancamkan lewat undang-undang secara mengikat, yang isinya tentang Surat Teguran, Surat Paksa, Penyitaan, dan Pelelangan. Padahal, dari segi hukum Islam, kebolehan penarikan pajak itu sendiri justru para ulama masih berselisih pendapat. Paling kurang, kebolehannya itu dengan aneka syarat.  2. Tidak diragukan lagi, perpajakan yang memungut lebih dari 10 %, bahkan kini PPN (Pejak Pertambahan Nilai) diusulkan 20 % itu sudah jelas merupakan kedhaliman menurut Islam. Karena PPN itu sama sekali bukan hanya dikenakan kepada orang kaya, namun orang yang sedang makan di restoran pun kena PPN. Bahkan menulis di koran dengan honor 20 ribu rupiah pun kena PPN yang dulunya 10% naik menjadi 15%, dan hal-hal tertentu diusulkan naik jadi 20%.  3. Masalah penggunaan pajak yang sering merugikan ummat Islam, misalnya untuk membiayai tentara dan pembelian senjata yang justru sering untuk membantai ummat Islam misalnya di Aceh, Ambon oleh Tentara Yon Gabungan pada bulan Januari 2001M, dan lain-lain, misalnya pembangunan kembali candi Hindu atau Budha tempat kemusyrikan. Itu jelas bertentangan dengan Islam.  4. Penerapan pajak terhadap apa yang disebut pajak (tempat-tempat) hiburan merupakan satu hal yang memprihatinkan bagi ummat Islam. Yang disebut tempat hiburan itu rata-rata tempat maksiat dan pelanggaran akhlaq mulia. Namun dengan ditetapkannya pajak (tempat-tempat) hiburan yang dikukuhkan lewat undang-undang, maka posisi tempat maksiat itu menjadi legal dilindungi hukum. Jadi pemerintah sama dengan memelihara dan mengembangkan kemaksiatan.  5. Tidak ada undang-undang yang melindungi rakyat dalam hal pemerintah menggunakan pajak tidak sesuai dengan kepentingan yang bisa dibolehkan oleh Islam, sehingga posisi ummat Islam selaku pembayar pajak tidak bisa menuntut apapun apabila pemerintah menggunakan pajak di luar kepentingan yang dibolehkan Islam. Padahal, kebolehan menarik pajak bagi ulama yang membolehkan, itupun bersyarat.  Dalam hal ini ketentuan umum dari hadits Nabi saw: “Tidak ada ketaatan terhadap makhluq dalam hal bermaksiat kepada Khaliq.”  Dalam hal ini yang ada hanya “paksaan” terhadap rakyat dari pemerintah, dan tidak ada hak rakyat untuk menuntut pemerintah. Itu satu problem yang jelas-jelas nyata.  Kesimpulan:  1. Zakat di Indonesia mulai mendapatkan perlindungan secara hukum dalam pengelolaannya dengan Undang-undang No 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Namun undang-undang itu tidak ada penegasan tentang wajibnya petugas untuk menarik/ mengumpulkan zakat, menghitung harta muzakki, dan sanksi bagi pengingkar zakat.  2. Zakat itu merupakan kewajiban bagi ummat Islam yang memenuhi kriteria tertentu, landasan kewajiban itu jelas yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta ijma’ sahabat dalam hal memerangi para pengingkar zakat.  3. Pajak menurut Islam masih diperselisihkan oleh para ulama tentang kebolehannya. Ulama yang membolehkan seperti Yusuf Al-Qaradhawy Ulama Qatar pun mensyaratkan berbagai syarat di antaranya tentang keadilan, tiadanya kedhaliman, dan tidak untuk maksiat dan hawa nafsu.  4. Pajak di Indonesia diatur secara sangat mengikat dengan 5 undang-undang tahun 1997, dan diberlakukan mulai 1 Januari 1998.  5. Pajak yang status hukumnya dalam Islam jauh lebih kecil/ lemah dibanding hukum zakat yang sangat kuat itu di Indonesia justru terbalik. Hukum pajak lebih sangat ditekankan dan diterapkan secara sangat mengikat dengan berbagai tahap ancaman. Sementara itu tentang zakat, di samping undang-undangnya baru, lembaganya pun secara umum belum jelas, bahkan aturannya pun masih kabur, lebih-lebih kalau dikaitkan dengan timpaan kewajiban ganda antara pajak dan zakat. Karena, meskipun muzakki yang sudah mengeluarkan zakat bisa diberi hak pengurangan pajak sesuai dengan zakat yang telah dikeluarkan, namun aturan itu belum jelas benar mekanismenya, lagi pula justru menegaskan bahwa yang lebih penting dan lebih besar nilai nominalnya, serta lebih dianggap wajib oleh negara itu adalah pajak  6. Sanksi terhadap wajib pajak sangat ditegakkan secara hukum, namun sanksi terhadap pemerintah yang menggunakan pajak tidak sesuai dengan keyakinan mayoritas penduduk (yaitu beragama Islam) tidak ada sama sekali. Sehingga pajak yang tentu saja sebagian besar ditarik dari umat Islam, justru sering digunakan kepada hal-hal yang merugikan kepentingan Islam, namun ummat Islam tidak diberi hak menuntut, karena tidak ada undang-undangnya tentang itu.  7. Pengenaan “pajak hiburan” terhadap tempat-tempat maksiat yang disebut tempat hiburan (mungkin saat otonomi daerah diberlakukan nanti ada yang menerapkan pajak tempat judi legal) itu justru melegalkan dan menyuburkan tempat maksiat, yang hal itu sangat bertentangan dengan kepentingan mayoritas penduduk. Ini berarti negara merusak akhlaq masyarakat hanya demi kepentingan mendapatkan uang. Ini tak ubahnya sama dengan barisan preman atau tukang pukul tempat-tempat maksiat atau antek Dajjal berbaju negara.  8. Sementara itu zakat yang diharapkan bisa mengurangi penderitaan kaum faqir miskin dan mustahiqin, tampaknya kurang diseriusi oleh pemerintah, baik secara hukum maupun penanganannya.  Itulah aneka problema dalam hal zakat dan pajak di Indonesia.  Selain orang-orang pemerintah, maka orang-orang DPR yang mengeluarkan undang-undang itu akan dimintai tanggung jawabnya di hadapan masyarakat, dan yang pasti adalah di hadapan Allah SWT kelak. MUI yang telah memberikan kata pengantar buku penggalakan pajak dengan judul Zakat dan Pajak, 1992, mesti bertanggung jawab pula di hadapan Ummat Islam Indonesia dan terutama kepada Allah SWT.  G. Perbedaan Antara Fungsi Zakat dan Pajak Zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak. Tujuan yang luhur ini tersirat pada kata zakat itu sendiri yang bermakna suci, tumbuh dan berkah. Pajak tidak memiliki tujuan luhur seperti zakat. Para ahli keuangan berabad-abad lamanya menolak adanya tujuan lain pada pajak, selain untuk menghasilkan pembiayaan (uang) untuk mengisi kas Negara (mazhab yang netral). Setelah timbul kemajuan berpikir dan terjadi perubahan social politik dan ekonomi, maka madzhab tersebut menjadi surut (terkalahkan), dan timbullah berbagai pajak sebagai alat untuk mencapai tujuan ekonomi dan social tertentu, seperti anjuran untuk berderma, menabung, penghematan biaya, barang-barang mewah atau yang lain. Tujuan tersebut merupakan tujuan sampingan di luar tujuan utama, yaitu untuk memenuhi keuangan Negara, namun para perencana perpajakan dan ahli-ahli keuangan pada umumnya, juga para pakar di bidang itu tidak dapat keluar lebih jauh dari tujuan-tujuan materi, seperti tujuan spiritual dan moral yang menjadi tujuan utama zakat Bab III Kesimpulan Dari uraian diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan, diantaranya: 1. Islam mengenal zakat dan pajak dalam masalah kewajiban terhadap harta kekayaan yang dimiliki oleh umat muslim. 2. Zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak. Sedangkan pajak tidak memiliki tujaun luhur seperti zakat hanya memilki fungsi yang lebih luas. Daftar Pustaka: Syalabi, Ahmad, Dr, Islam dalam Timbangan, terjemahan Abu Laela dan Muhammad Tohir, PT Al-Ma’arif, Bandung, cetakan pertama 1982.  Husnan, Ahmad .Zakat Menurut Sunnah dan Zakat Model Baru, Pustaka Al-Kautsar Jakarta, cetakan I, 1996.  Al-Jazairi ,Abu Bakar Jabir, Minhajul Muslim, Darul Fikr, Beirut, cetakan pertama 1995. Setia Tunggal, Hadi,SH (penghimpun), Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dilengkapi Undang-Undang Nomor 17/ 1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Harvarindo Jakarta, 2000.  Yusuf Al-Qaradhawy, Dr, Fiqhuz Zakah, II, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, cetakan VIII, 1405H/ 1985M.  As-Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, jilid I dan III, Darul Fikr, Beirut, cetakan IV, 1403H/ 1983M. 

Ali M. Nuruddin. Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal. Jakarta. Rajawali Press. 2006. 

(penulis adalah mahasiswa jurusan hukum islam FIAI UII)

 
footer