Selasa, Mei 05, 2009

BAB I  MUQADDIMAH Alhamdulillah, segala pujian dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. atas berkat rahmat-Nya akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Tafsir Ahkam ini tepat pada waktu yang telah ditentukan, dalam makalah ini kami akan sedikit membahas tentang keadilan yang terkandung dalam hukum waris yang akhir-akhir ini sering diperdebatkan. Seterusnya kami haturkan terimakasih kepada Bapak Dosen yang telah mempercayakan tugas makalah ini kepada saya, serta permohonan maaf saya sampaikan sebelumnya atas ketidak sempurnaan makalah ini, baik dari segi penulisan atau isi, karena kami sadar dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan-kekurangan, dan mungkin banyak terdapat kesalahan-kesalahan baik yang kami sadari atau tidak, maka dari itu kami sangat mengharapkan bimbingan dan penilaian dari bapak dosen serta kritik dan sarannya. BAB II PEMBAHASAN
A. Tarjamah Ayat dan Kosa Kata Kunci قال الله تعالى :                               •                       •                       •                                                                            •                                       •                   •        “[11] Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian waris untuk) anak-anakmu. yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[12] Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. [13] (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. [14] Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”   Pada surat An-Nisaa’ ayat 11-14 di atas terkandung beberapa kosa kata yang memiliki peran penting dalam penerjemahan maksud dan tujuan ayat tersebut. Dengan kita bahas penjelasan dari kosa kata kunci tersebut, maka akan mempermudah dalam penafsiran ayat. Kosa kata itulah yang perlu kita cemati terjemahan juga maknanya.  Beberapa kosa kata penting itu antara lain : 1. يوصيكم berarti الوصية yaitu العهد(janji) atas suatu perkara 2. ﻓﺮﻴﻀﺔ berarti (ﻣﺎﻓﺮﻀﻪﺍﷲﻮﺃﻮﺠﺒﻪ, apa-apa yang telah Allah tetapkan dan wajibkan. 3. ﻛﻼﻟﺔ berarti (ﻣﻦﻻﻮﻠﺪﻠﻪﻮﻻﻮﺍﻠﺪ), orang yang tidak memiliki anak ataupun ayah, sebatang kara, tidak memiliki sanak keluarga. 4. ﺤﺩﻭﺩﺍﷲ yaitu hukum-hukum Allah,  B. Sabâbu An-Nuzûl Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah berkata : bahwa sesungguhnya seorang wanita (isteri Sa’ad bin ar-Rabi’) mendatangi Rasulullah SAW. bersama kedua anak perempuannya, kemudian ia bekata: ”Wahai Rasulullah, ini adalah kedua puteri Sa’ad bin ar-Rabi’, ayahnya terbunuh bersama anda pada perang uhud sebagai syahid dan sungguh paman mereka telah mengambil harta mereka berdua dan tidak meninggalkan kepada mereka berdua harta. Dan mereka berdua tidak akan dinahkan kecuali dengan harta.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda :”Allah telah menentukan pada masalah itu (harta warisan).” Maka turunlah ayat mawaris ini (an-nisaa’:11-14). Kemudian Rasulullah menyampaikan ayat tersebut kepada paman mereka sebagai perintah agar ia memberikan harta waris kepada kedua puteri Sa’ad sebanyak 2/3 bagian, dan ibu mereka 1/8 bagian, dan yang sisanya adalah miliknya.   Maka sesungguhnya turunnya ayat ini adalah sebagai jawaban atas perkara waris pada masa sebelum Islam, bahwasannya waris itu hanya untuk anak laki-laki, sedangkan wasiat untuk orang tua, maka ayat ini menghapus hokum waris jahiliyyah. Dikatakan pula oleh turunnya ayat ini dengan sebab anak-anak perempuan dari Abdurrahman bin Tsabit saudara dari Hassan bin Tsabit, dikatakan “ Sesungguhnya pada masa jahiliyyah mereka tidak memberikan waris kecuali dari hasil peperangan dan pembunuhan musuh, maka turunlah ayat ini sebagai penjelas bahwa bagi setiap ahli waris baik itu besar atau pun kecil memiliki hak dalam mawaris. C. Syarhu al-Ayât  Firman Allah pada ( ﻴﻭﺻﻴﻛﻡﺎﷲﻓﻰﺃﻭﻻﺪﻛﻢ ) adalah penegasan berlakunya syari’at pada hukum mawaris sebagai penjelas dari ayat sebelumnya (ayat 10). Penegasan yang dimaksudkan adalah perintah Allah untuk berlaku adil pada masalah mawaris. Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat mulia ini, ayat-ayat setelahnya, hingga akhir adalah ayat-ayat berkenaan dengan ilmu faraid (waris). Yaitu yang dijelaskan dengan 3 ayat sesudahnya. (Ust. Ucup) Berkata Imam Syafi’I ( ﻴﻭﺻﻴﻛﻡﺎﷲﻓﻰﺃﻭﻻﺪﻛﻢ ) pada hakikatnya untuk anak kandung saja, sedangkan untuk cucu dan seterusnya masuk melalui majaz. Jadi jika diwasiatkan kepada anak, maka juga kepada cucu dan seterusnya. Imam Ibnu al-Mundzir bahwasannya ( ﻴﻭﺻﻴﻛﻡﺎﷲﻓﻰﺃﻭﻻﺪﻛﻢ ) mengandung kewajiban bagi setiap yang disebutkan dalam ayat tersebut, yaitu bagi segenap anak, juga kepada segenap kaum mukmin, serta kaum kafir.  Sedangkan penggunaan dari kata (ﻠﻠﺬ ﻜﺭ) sebelum ( ﺍﻷ ﻧﺛﻴﻳﻦ ) adalah sebagai bentuk penghormatan, dan bentuk tanggung jawab dari seorang laki-laki kepada perempuan. Ini bukan bentuk diskriminasi terhadap kaum wanita, tetapi bentuk tanggung jawab yang lebih besar antara laki-laki diatas perempuan. Hal ini dapat kita perhatikan juga, bahwa bagian seorang anak laki-laki ternyata ditentukan oleh bagian dari perempuan (disini bagian seorang laki-laki adalah bagian dua orang perempuan. Seperti dijelaskan pada:                ....   ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.....”   Hikmah lainnya adalah karena yang wajib memberikan nafkah itu adalah laki-laki, juga berusaha, berdagang, bekerja dan menanggung kepayahan. Maka untuk harta merekalah yang lebih membutuhkan. Adapun perempuan berada pada kuasa laki-laki. Dan juga wanita pada dasarnyahanay bertanggung jawab pada nafkah kepada dirinya sendiri, bukan kepada keluarga, berbeda dengan suami. Pada (ﺍﻠﺬ ﻜﺭ) kalimat ini memiliki makna tidak hanya laki-laki dewasa saja tetapi juga mulai dari bayi laki-laki hingga orang tua yang renta. Berbeda halnya jika menggunakan (ﺍﻠﺭﺠﺎﻞ), maka pengertian yang diambil adalah kembali ke pada pembagian waris dari hukum jahiliyyah, dimana yang berhak mendapat warisan adalah laki-laki dewasa saja.   Kalimat selanjutnya adalah ( ﻓﺈﻦ ﻛﺎﻦ ﻧﺴﺄ) hingga ( ﻓﺈﻦ ﻛﺎﻦ ﻠﻪ ﺇﺨﻭﺓ ﻓﻸﻣﻪ ﺍﻠﺴﺪﺲ) adalah pembagian harta yang telah cukup jelas sesuai dengan yang ditetapkan Allah SWT. Pembagian inilah yang hampir tidak ada perselisihan diantara ulama, karena penjelasan yang terperinci dalam ayat ini. Pembagian harta waris hendaklah dilakukan ketika semua kewajiban atas mayit telah diselesaikan. Sebagaimana terkandung dalam (ﻣﻦﺒﻌﺪﻭﺻﻴﺔ ﻴﻭﺻﻲ ﺒﻬﺎ ﺃﻭﺪﻴﻦ), sehingga dalam pembagian harta kelak sudah didapatkan bagian-bagian yang jelas, karena semua tanggungan berupa wasiat dan hutang telah dipenuhi. Kalimat ini diulang hingga hingga empat kali, mulai ayat 11 hingga ayat 12, menunjukkan betapa pentingnya melaksanakan wasiat dan membayarkan hutang-hutang dari si mayit agar terhindar dari mudharat. Tetapi pada akhir-akhir ini, yang sering muncul masalah pembagian harta waris diperselisihkan oleh orang-orang orientalis dan liberalis, sehingga memunculkan keragu-raguan tentang masalah keadilan pembagian warisan tersebut. Tetapi pembagian ini dalah bentuk keadilan yang Allah berikan, sesuai dengan (ﺀﺍﺒﺎﺆﻜﻢ ﻭﺃﺒﻨﺎﺆﻜﻢﻻ ﺘﺪﺮﻭﻦ ﺃﻴﻬﻢ ﺃﻘﺮﺐ ﻠﻛﻢ ﻨﻓﻌﺎ), menunjukkan bahwa keadilan itu mutlak milik Allah, karena pada dasarnya kita sendiri tidak tahu siapakah yang lebih banyak memberikan manfaat, lebih baik dan lebih berkasih sayang kepada kita. Yang tidak boleh kita lakukan adalah mengingkari keadilan dari pembagian tersebut, kenapa terjadi perbedaan antara bagian anak, ibu, ayah, dan lain-lain. Allah menjelaskan:  •                        •        ”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”  Karena Allah lah Yang Maha mengetahui dan Maha Bijaksana (ﺇﻦﺍﷲ ﻜﺎﻦﻋﻠﻴﻤﺎﺤﻛﻴﻣﺎ), sudah barang tentu pembagian inilah yang telah mengandung keadilan dan kebijaksanaan Allah. Tetapi (ﻮﺇﻦ ﻜﺎﻦ ﺮﺠﻞ ﻴﻮﺮﺚ ﻜﻼﻠﺔ), yakni jika tidak memiliki anak atau ayah, atau sanak keluarga dekat, maka hartanya dapat diwariskan kepada kerabat jauhnya ataupun dapat diserahkan kepada baitul maal disebabkan tidak adanya keturunan aslinya. Semuanya ini adalah ketentuan dari Allah, hukum dari-Nya (ﺘﻠﻚ ﺤﺪﻮﺪﺍﷲ) yang telah disyariatkan kepada kita hamba-Nya agar menjalankan sesuai dengan ketetapan-Nya dan tidak mengingkari-Nya. Dengan jelas Allah menegaskan bahwa hukum waris ini adalah hokum yang harus dijalankan, sebagaimana perintah-perintah ibadah yang lain. Jika kita perhatikan dengan seksama, hukum waris islam telah banyak terpinggirkan, tergeser dengan hukum-hukum waris adat dan juga hukum konvensional. Tentu hal itu cukup memperihatinkan karena hukum waris Islam termasuk syari’at Islam, hukum yang ditetapkan secara langsung oleh Allah, termasuk yang diperintahkan Rasulullah untuk dipelajari dan diajarkan, karena ia termasuk nishfu ’ilmi, maka kenapa kita harus berpaling darinya? Apakah kita akan membiarkannya secepat mungkin dicabut oleh Allah dari dunia ini? Dalam hadits Rasulullah : (ﺍﻠﻌﻠﻢﺛﻼﺛﺔﻮﻤﺎﺴﻮﻯﺫﻠﻚﻓﻫﻮﻓﻀﻞﺁﻴﺔﻤﺤﻜﻤﺔﺃﻮﺴﻨﺔﻗﺌﻤﺔﺃﻮﻓﺮﻴﻀﺔﻋﺎﺪﻠﺔ) , dimana pada ketiganya terdapat hukum-hukum yang wajib diamalkan dan dijalankan oleh segenap umat Islam. Ketetapan itulah yang memang telah disyari’atkan. Padahal Allah telah memberikan janji dengan imbalan surga bagi yang mentaatinya(... ﺍﻠﻠﻪ ﻴﻄﻊ ﻮﻤﻦ), bahkan kekal di dalamnya. Dan semuanya itu adalah keuntungan yang begitu besar, sebaik-baik balasan dari Allah SWT. (ﻮﺫﻠﻚﺍﻠﻓﻮﺰﺍﻠﻌﻆﻴﻢ) Tetapi ketika kita ragu, takut, atau bahkan enggan untuk berhukum dengan hukum Allah (ﻮﻤﻦﻴﻌﺺﺍﻠﻠﻪ) (dalam masalah ini adalah hukum mawaris dan juga hukum-hukum yang lain) ataupun yang lewat Rasulullah SAW. ( ﻮﺮﺳﻮﻠﻪ ) serta melanggarnya ( ﻮﻴﺗﻌﺪﺤﺪﻮﺪﻩ ), maka neraka adalah ancaman baginya untuk selamanya. Tidak hanya dimasukkan neraka saja tetapi juga dengan segenap adzab atau siksa yang menghinakan (ﻣﻬﻴﻦ ﻮﻠﻪﻋﺫﺍﺐ). D. Pokok Kandungan Ayat Ayat-ayat ini mengandung penjelasan tentang hukum waris dalam Islam. Allah SWT telah menjelaskan secara terperinci perihal pembagian setiap ahli waris. Sebagaimana telah diwasiatkan Allah Ta’ala pada ayat mawaris pada surat An-Nisaa’ (4) :11-14 dengan lengkap dan sempurna. Allah telah menjelaskan batasan-batasan dari hak kerabat secara universal dengan menyebutkan hukum-hukum waris dengan pembagian-pembagiannya sebagai penjelasan dari yang umum tersebut. Maka Allah menjelaskan bagian dari anak laki-laki dengan bagian perempuan, kemudian menyebutkan bagian ayah dan bagian ibu, kemudian bagian para suami dan para isteri, dan bagian saudara dengan bagian saudari.   Juga dengan konsekuensinya, baik yang mentaati dan juga melanggarnya. Sebagai bentuk keadilan dan kebijaksanaan Allah Azza wa Jalla.  E. Hukum, Petunjuk Dan Pelajaran Ayat Pada dasarnya khitab dari ayat mawaris ini adalah umum pada kematian orang yang mewariskan harta, juga kepada para hakim dan pemimpin serta kepada segenap kaum muslimin. Adapun disebutkan kepada orang yang meninggal (ﺍﻠﻤﻮﺘﻲ) agar segenap ahli waris mengetahui hak-hak mereka terhadap harta yang diwariskan setelah meninggalnya dan agar tidak terjadi perselisihan diantara mereka.  Ilmu dan Hukum waris pada ayat ini adalah sebagai salah satu rukun dari rukun-rukun agama, salah satu pilar dari pilar-pilar hukum, dan juga ibu dari ibunya ayat (waris).sehingga penggunaan hukum ini adalah wajib bagi setiap orang muslim tanpa terkecuali. Sebagaimana telah Allah tegaskan, hukum-hukum syari’at itulah yang harus ditegakkan. Sehingga untuk mempelajarinya dan mengamalkannya adalah hal yang wajib juga, seperti pada hukum-hukum Allah yang lain. Demikian juga yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Arab dalam Al-Ahkam al-Qur’an. Pada saat sekarang ini, waris kembali menjadi masalah yang sangat peka dan signifikan untuk dibahas, karena tidak jarang timbul perselisihan karena hal ini. Bahkan banyak kasus pembunuhan diantara saudara kandung ataupun antar anggota keluarga yang dipicu oleh pertentangan dalam mempertahankan harta waris tanpa mengindahkan hukum syari’ yang mengaturnya.  Ilmu faraid ini telah digunakan oleh Nabi SAW, segenap sahabat dan juga para ulama’ terdahulu. Sehingga tanpa pengecualian hukum ini adalah hukum yang wajib digunakan. Dengan jaminan yang telah diberikan Allah, tettu seharusnya tidak pernah ada keraguan pada diri umat Islam tentang bentuk keadilan atas hukum mawaris. Keyakinan itulah yang seharusnya ada pada diri kita, bukan sebaliknya menggunakan hukum yang lain, hukum yang dibuat oleh manusia sendiri. Allah berfirman :                                 ”Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya Telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka Telah diperintah mengingkari thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.”  Saat hukum Allah diselewengkan atau malah ditentang kebenarannya, maka sebenarnya pengaruh syeitan telah merasuki hati kita. Sebagaimana Allah jelaskan pada ayat di atas.  Padahal pembagian hak waris kepada ahli waris sesuai dengan ayat 11-12, mengindikasikan keadilan dimana yang menentukan adalah Dzat Yang Maha Adil, yakni Allah SWT. Sehingga saat kita mempertanyakan bentuk keadilan dari ketetapan Allah tersebut, maka berarti kita juga meragukan atas keadilan Allah. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya : ” Pelajarilah ilmu faraid dan ajarkanlah kepada manusia, sesungguhnya ia (ilmu faraid) adalah setengah dari ilmu, dan ia juga adalah perkara yang dilupakan, serta ilmu yang dicabut pertama kali dari dunia dari umatku.”   Disebutkan sebagai setengahnya ilmu, karena begitu pentingnya ilmu ini. Apalagi ilmu faraid adalah hukum yang pertama kali dilupakan oleh manusia, dan juga ia adalah ilmu yang akan dicabut pertama kali dari umat Islam. Untuk menjaganya, tidak lain hanya dengan mempelajarinya, dan mengajarkannya kepada manusia. Setelah itu diamalkan, digunakan dalam praktek pembagian harta warisan. Wallahu a’lam bish-shawab. KESIMPULAN
Dari pemaparan dan penjelasan singkat tersebut, dapat kita ambil kesimpulan berkenaan dengan Tafsir Surat an-Nisaa’ (2) ayat 11 sampai 14, yaitu: 1. Hukum Waris adalah salah satu ketetapan, hukum dan syari’at dari Allah bagi segenap umat Islam yang penetapannya dilakukan langsung oleh Allah. 2. Pembagian hak waris dalam ayat tersebut telah dipaparkan secara jelas, bagi setiap ahli waris sesuai dengan bagian-bagiannya. 3. Jumhur ulama’, baik ahli tafsir maupun ulama’ fikih telah bersepakat dalam masalah hukum mawaris ini, sehingga sedikit sekali perbedaan pendapat. 4. Janji surga bagi yang mentaati dan neraka dengan adzabnya bagi yang ingkar. G. Kepustakaan Ibnu Araby, Abi Bakar Muhammad bin Abdullah. Al-Ahkam Al-Qur’an. Thn terbit tidak diketahui. Daar Al-Fikri : Beirut. Al-Qurthubi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Anshori. Al-Jami’ lil Ahkaam al-Qur’an. 2003. Daar al-Kitab al-Araby : Beirut.  Al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin. Mahasin Al-Takwil juz 3. 1978. Daarul Fikri : Beirut. Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali. Fathul Qadir. 1983. Daar Al-Fikri : Beirut. Al-Imam Abu Abdullah, Taisiirul Mawaarits. Daarul Wafa, Al-Mansurah. Tahun terbit tidak diketahui. Ali ash-Shabuni, Muhammad. Shafwat at-Tafasir. 1999. Daar al-Kutub al-Islamiyyah : Jakarta. 
(penulis adalah mahasiswa jurusan hukum islam FIAI UII

0 komentar:

Posting Komentar

 
footer