Selasa, Mei 05, 2009

IMPLEMENTASI KEPEMIMPINAN ISLAM DI INDONESIA

KATA PENGANTAR Alhamdulillahi rabbil alamin selalu penulis panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi yang telah memberi islam, iman dan ihsan. Sehingga pada akhirnya penulis mampu menyelesaikan tugas makalah ini.  Shalawat teriring salam senantiasa penulis haturkan keharibaan Nabi Muhammad Saw yang telah menggulung tikar-tikar kekafiran dan untuk penggantinya beliau telah menebarkan panji-panji islam di muka bumi ini.  Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapa Drs. H. Sularno selaku pengampu mata kuliah yang bersangkutan. Karena tanpa kepercayaan Bapak kepada penulis tentu tugas ini tidak akan Bapak berikan kepada saya.  Akhir kata penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kesalahan, kekurangan dan ketidaktepatan argumen. Penulis sadar masih banyak kekurangan disana-sini yang harus ditutupi dan diperbaiki. Semoga apa yang telah penulis lakukan diridhoi Allah Swt, dan semoga apa yang penulis sumbangkan dapat bermanfaat bagi penulis khususunya dan bagi pembaca khususnya.  BAB I PENDAHULUAN Salah satu hal yang tidak bisa dihindari oleh manusia yang hidup di muka bumi ini adalah kepemimpinan. Sebagainama sabda Nabi Muhammad Saw dalam salah satu haditsnya yang sangat populer, yaitu :  “Setiap dari kamu adalah pemimpin, dan setiap dari kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya” Pelajaran yang dapat diambil dari hadits tersebut adalah bahwa setiap diri manusia secara tidak tidak disadari telah menjadi seorang pemimpin, ialah pemimpin bagi dirinya sendiri. Seseorang yang baligh dan tidak hilang akalnya akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di hari kiamat. Bagaimana ia memanfaatkan umur yang telah diberi, dipergunakan untuk apa segala kesempurnaan tubuh yang diberi, dan apakah telah sesuai dengan ajaran islam apa yang telah dilakukan serta bentuk pertanyaan-pertanyaan lain yang serupa dengan itu harus dipertanggungjawabkan.  Hal ini adalah sebuah konsekwensi yang harus diterima manusia sebagai makhluk yang mulia diantara makhluk-makhluk yang ada di dunia. ketika Nabi Adam ditanya oleh Allah Swt tentang kesanggupannya menjadi khalifah fil ardi, maka ia dengan cepat menyatakan dapat menyanggupinya.  Namun hal ini tidak berarti seseorang dapat seenaknya saja mengkambinghitamkan Nabi Adam sebagai Nabi pertama yang mau menerima amanat dimuka bumi ini. Ada faktor-faktor lain yang memang secara rasio seseorang dituntut untuk mempertanggungjawabkan kepmimpinannya. Diantara faktor-faktor yang ada adalah karena manusian dibekali oleh Allah Swt dengan akal. Organ inilah yang menjadikan manusia mendapat gelar makhluk yang sempurna. Akal yang merupakan pusat berfikir diharapkan dapat memilah dan memilih hal-hal yang dianggap baik atau dianggap buruk.  Kepemimpinan dalam islam merupakan kepemimpinan Allah Swt yang sifatnya mutlak. Dalam teknisnya kepemimpinan Allah Swt ini diwakilkan lewat para nabi dan orang mukmin. Hal ini karena secara logika tidak dapat diterima apabila Allah Swt yang langsung melaksanakan teknisnya karena kita tahu bahwa Allah Swt tidak terbatas dengan dimensi ruang dan waktu. Dalam dasawarsa terakhir ini banyak wacana yang mengangkat tentang kepemimpinan islam, terutama di Indonesia. Kepemimpinan islam di Indonesia yang mayoritas warga negaranya beragama islam nampaknya masih belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan ketentuan syari’at. Namun usaha untuk menuju kesana sudah dimulai sejak sebelum proklamasi kemerdekaan. Ini terlihat dari draf pancasila yang sekarang menjadi dasar negara Indonesia. Sila pertama yang awalnya mencantuman “dengan menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya” adalah bukti komitmen umat islam untuk terus menjunjung tinggi ajaran agama yang mulia ini.  Simbol atau nama kepemimpinan islam di Indonesia tidak dapat diterapkan dengan bentuk secara mentah-mentah. Artinya kepemimpinan islam di Indonesia akan tidak dapat teralisasi apabila menggunakan nama atau istilah dengan kepemimpinan islam. Terdapat sebuah kaidah yang mengatakan “al-ibrah fil islam bil jawhar wa la bil madzhar”. Artinya dasar yang menjadi patokan dalam perjuangan islam adalah substansinya dan bukan simbol formalitasnya.  Memang, pada dasarnya nama sangatlah mempengaruhi kredibilitas terhadap sesuatu yang menyandang nama tersebut. Namun permasalahannya sekarang adalah di Indonesia terdiri dari banyak agama yang masing-masing mempunyai ajaran. Apabila umat islam memaksakan berlakunya kepemimpinan islam dengan mencantumkan namanya, maka besar kemungkinan akan terjadi perang antaragama. Apabila terjadi demikian maka misi islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin bisa dikatakan gagal. Karena dengan menerapkan konsep kepemimpinan islam justru akan membuat perpecahan dalam suatu negara.  A. Pengertian Kepemimpinan Islam Dalam bahasa inggris kepemimpinan disebut dengan leadership, sedangkan dalam bahasa arab disebut dengan istilah khalifa, imamah, ziamah, atau imamah. Secara etimologi kepememimpinan berati daya memimpin atau kualitas seseorang pemimpin atau tindakan dalam memimipin itu sendiri. Secara terminologi terdapat beberapa definisi yang diungkapkan oleh para ahli. Menurut david dan newstrom, kemeimpinan atau leadership adalah suatu kemampuna membujuk orang lain aga dapat mencapai tujuan-tujuan terntentu yang telah ditetepkan. Dengan kata lain kepemimpinan adalah upaya untuk mentransformasi potensi-potensi yang terpendam menjadi kenyataan.  Sementara itu menurut Hadi poerwono kemepimpinan adalah seseoranga dalam mengkoordinasikan dan menjalin hubungan antra sesama manusia, sehingga mendorong orang lain uuntuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan hasil yang maksimal. Definisi tersebut tidak jauh berbeda dengan yang dikatakan oleh Fiedler, ytaitu kepemimpinan adalah tindakan membentuk hubungan kerja, memujui dan mengkritik anggota-anggota kelompok tersebut, serta menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan dan perasaan anggota-anggota yang dipimpinnya.  Berbeda dengan beberapa ahli diatas, Suhardi sigit mendefinisikan kepemimpinan sebagai hubungan dimana didalamnya orang yang dipimpin dan orang yang memimpin saling mempengaruhi agar mau bekerjasama berbagi tugas untuk mencapai keinginan si pemimpin. Sedangkan locke at all medefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses membujuk orang lain untuk mengambil langkah menuju sasaran bersama. (locke at all, 91).  Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulakan bahwa pada intinya kepmimpinan adalah suatu kegiatan atau seni untuk mempengaruhi perilaku orang-orang yang dipimpin agar mau bekerja menuju kepada satu tujuan yang ditetapkan atau dinginkan bersama. Dengan kata lain kepemimpinan merupakan masalah sosial yang didalamnya terjadi interaksi antara pihak yang dipimpin dan yang memimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan jalan mempengaruhi atau membujuk.  Hadari nawawi juga mengungkapkan pengertian tentang kepemimipinan ini. Namun beliau mengartikannya dari sudut pandang islam. Menurut beliau kepemimpinan dalam perspektif islam terbagi dalam dua pengertian, yaitu secara spiritual dan secara empiris. Secara spiritual kepemimpinan hanyalah bersumber dari Allah Swt yang telah menjadikan manusia sebagai khalifah dimuka bumu dan bersifat mutlak, sehingga dimensi kontrol tidak hanya terbatas pada interaksi antara pemimpin dan yang dipimpin, tetapi dua belah pihak harus mempertanggungjawabkan amanah yang diemban sebagai khalifah di bumi secara komperhensif. Secara empiris kepemimpinan islam adalah kegiatan menuju, membimbing, memandu, menunjukkan jalan yang diridhoi Allah Swt. Kegiatan ini bermaksud menumbuhkembangkan kemampuan mengerjakan sendiri bagi orang-orang yang dipimpin dalam usahanya mencapai ridho Allah Swt di dunia dan di akhirat.  Dalam islam, masalah kepemimpinan sebenarnya tidak jauh berbeda dengnan model kepemimpinan uang selama ini dilakukan oleh umumnya organisasi. Artinya bahwa prinsip-prinsip dan sistem-sistem yang digunakan dalam kemepimpinan islam ada persamaan dengan kepemimpinan pada umumnya. Pernasalahannya sekarang adalah bagaimana suatu kepemimpinan dapat dikatakan islami atau tidak? Mengenai hal ini paling tidak terdapat dua paradigma yang ditulis oleh Drs. H. M. Zainuddin, Lc., M.A dan abdul sumtaqin, M.Ag dalam bukunya studi kepemimpinan islam (telaah normatif dan historis). Pertama, paradigma legal-formalistik, yaitu yang mendasarkan kepada aspek-aspek formal keislaman. Misalnya nama organisasi itu adalah organisasi islam, asas-asas yang digunakan juga asas islam atau bahkan para pengurusnya harus beragama islam. Maka bagi yang menggunakan paradigma ini  B. Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Islam Sebagaimana agama yang sesuai dengan fitrah manusia, islam memnerikan prinsip-prinsip dasar dan tata nilai dalam rangka mengelola sebuah organisasi atai pemerintahan. Ada beberapa hal yang disyaratkan dalam al-qur’an dan sunnah mengenai beberapa prinsip pokok dan tata nilai berkaitan dengan kepemimpinan, kehidupan, bermasyarakat, berorganisasi, bernegara (baca: kehidupan politik), termasuk didalamnya dalam sistem pemerintahan yang nota-bennya merupaka kontrak sosial.  Berikut ini adalah prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang diajarkan dalam agama islam dalam hal yang berhubungan dengan kontrak sosial, yaitu : a. Prinsip tauhid prinsip tauhid merupakan salah satu dasar dalam sistem kepemimpinan (pemerintahan islam). Hal ini dapat dilihat dengan cara menyimak sejaran islam itu sendiri. Sebab perbedaan akidah yang fundamental dapat menjadi pemicu dan pemacu kekacauan suatu umat. Oleh karena itu, islam mengajak ke arah satu kesatuan akidah diatas atas dasar yang dapat diterima oleh berbagai umat, yakni tauhid. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam surat An-Nisa’ ayat 48, Ali Imran ayat 64 dan Al-Ikhlas ayat 1 dan 4.  •                        Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (An-Nisa’ : 48)  b. Prinsip syura (musyawarah)  secara etimologi, konsep “syura” merupakan bahasa serapan yang diambil dari bahasa arab. Arti dari “syura” tesebut adaalh mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembangn sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat dikeluarkan, termasuk pendapat. Sehingga musyawarah dapat berarti mengeluarkan atau mengajukan suatu pendapat. Musyawarah (syura) pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Dengan kata lain, keputusan musyawarah tidak dapat diterapkan untuk mengabsahkan perbuatan yang menindas pihak lain dan tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Meminjam bahasa al-qur’an, jangan sampai sura itu bertujuan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal yang jelas-jelas terdapat dalam nash al-qur’an dan sunnah.  Dalam menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan berorganisas dan bermasyarakat, manusia paling tidak mengenal tiga cara , yaitu 1) keputusan yang ditetapka n oleh penguasa, 2) keputusan yang ditetapkan oleh pandangan minoritas, 3) keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan mayoritas. Ketiga bentuk keputusan diatas biasanya menjadi ciri umum demokrasi, meskipun harus dicatat bahwa “demokrasi tidak identik dengan syura”. Prinsio musyawarah dalam islam jelas tidak sesuai dengan model keputusan yang pertama, sebab hal itu justru akan membuat syura menjadi “impoten” dan lumpuh. Demikian pula pada bentuk kedua, sebab hal ini akan menyisakan pertanyaan, apakah keistimewaan pendapat minoritas sehingga mengalahkan yang mayoritas? Walaupun syura dalam islam membenarkan keputusan pendapat mayoritas, tetapi pada dasarnya hal itu fidak bersifat mutlak. Demikian antara lain pendapat yang dikemukakan oleh Ahmad Kamal Abu al-majad dalam kitabnya “Hiwar La Muwajahah” sebagaimana dikutip oleh quraish Shihab. Sebab keputusan pendapat mayoritas tidak boleh menindas yang minoritas, melainkan tetap harus memberikan ruang gerak bagi mereka yang minoritas. Lebih dari itu, dalam islam suara mayoritas tidak boleh bertentangan dengan prinsip dasar syari’at.  c. Prinsip keadilan dalam memenej pemerintahan, keadilan menjadi suatu keniscayaan, sebab pemerintahan dibentuk antara lain agar tercipta suasana masyarakat yang adil dan makmur. Tidaklah berlebihan kiranya jika kemudian syikh al-Mawardi dalam Ahkan as-Sultabaniyyah-nya memasukkan syarat pertama bagi seorang imam atau pemimpin negara adalah mempunyai sifat adil. Bahkan sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa pemerintahan yang adil di bawah pemimpin yang kafir lebih baik dibanding pemimpin muslim tapi dhalim. Karena keadilam dalam memimpin merupakan syarat mutlak bagi terciptanya stabilitas sosial yang “sesungguhnya”, bukan stabilitas sosial yang “seolah-olah” karena adanya tekanan.  Dalam al-qur’an, konsep keadilan diungkapkan dengan kata al-adl, al-qisth, al-mizan. Keadilan menurut al-qur’an mengantarkan manusia kepada ketakwaan, dan ketakwaan akan mengantarkan kepada kesejahteraan.  Kata al-adl dalam al-qur’an dengan berbagai bentuknya terulang dua puluh kali. Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh para ulama mengenai keadilan.  Pertama, adil dalam arti sama; artinya tidak membeda-bedakan satu sama lain. Persamaan yang dimaksud disini adalah persamaan dalam hak. Misalnya dalam putusan hukum di pengadilan. Kedua, adil dalam arti seimbang; arti ini identik dengan kesesuaian (keproposionalan), bukan lawan dari kedhaliman. Dalam hal ini kesesuaian atau keseimbangan tidak mengharuskan persamaan dan kadar. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya. Ketiga, adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak itu kepada setiap pemiliknya. Inilah yang kemudian sering dikenal dengan dalam islam dengan istilah “wadh’u asy-syai fi mahallihi”, artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya. Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Allah Swt. Adil disini memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi. Dalam hal ini Allah memiliki hak atas semua yang ada sedangkan semua yang ada pada hakikatnya tidak memiliki sesuatu disisi-Nya.   d. Prinsip kebebasan (al-hurriyah) kebebasan atau huriyyah dalam pandangan islam sangat dijunjung tinggi, termasuk kebebasan dalam menentukan pilihan agama sekalipun. Bahkan secara tersurat Allah Swt memberikan kebebasan (Q.S. al-kahfi : 19) apakah sseseorang itu mau beriman atau kafir terserah. Sebab merupakan hak setiap manusia yang diberikan Allah Swt, tidak ada pencabutan hak atas kebebasan kecuali yang di bawah dan setelah melalui proses hukum.  Namun demikian, kebebasan yang dituntut oleh islam adalah kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan disini juga bukan berarti kebebasan tanpa batas, semaunya sendiri, melainkan kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan yang lain.   C. Dasar Konseptual Kepemimpinan Islam Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi keyakinan adanya satu Tuhan yang benar-benar menciptakan alam semesta beserta isinya ini. Hal tersebut berlaku juga pada kepemimpinan. Agama islam mengajarkan bahwa kepemimpinan yang sempurna dan mutlak hanyalah terdapat dalam kekuasaan Allah Swt. Artinya Allah Swt lah yang menguasai segala yang ada di dunia ini, baik yang hidup ataupun yang mati. Sedangkan dalam pengaplikasiannya kepemimpinan ini diserahkan kepada para rasul dan orang-orang mukmin.  Agama islam merupakan sumber kepemimpinan yang utama (dilihat dari pendekatan normatif). Pertanggungjawaban atas suatu kepemimpinan tidak hanya bersifat horizontal-formal sesama manusia saja, tetapi juga bersifat vertikal-moral, yakni tanggungjawab kepada Allah Swt di akhirat kelak. Seorang pemimpin boleh jadi telah dianggap lolos dari tanggungjawab formal di hadapan orang-orang yang dipimpinnya. Tetapi belum tentu ia dapat lolos ketika harus bertanggungjawab di hadapan Allah Swt. Kepemimpinan yang sebenarnya bukanlah suatu yang mesti menyenangkan, melainkan merupakan tanggungjawab sekaligus amanah yang amat berat dan harus diemban dengan sebaik-baiknya.  Bagi muslim terdapat larangan apabila yang dijadikan pemimpin diambil dari orang non muslim. Hal ini dimaksudka agar terhindar dari perbedaan keyakinan antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpin. Selain itu perbedaab keyakinan akan menghambat jalannya proses kepemimpinan. Karena keyakinan akan mempengaruhi kinerja serta cara berpikir seseorang, terlebih jika ia menjadi seorang pemimpin. Salah satu diantara sekian inilah yang menjadikan umat islam tidak boleh mengambil pemimpin dari luar agamanya. Penulis merasa dekimian juga dengan agama-agama yang lain, seperti agama katolik, agama protestan, agama hindu dan agama budha.  Islam sangat menjunjung tinggi kepribadian seorang pemimpin yang bertanggungjawab. Seorang pemimpin yang menjadi icon suatu masyarakat atau bangsa harus bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Sehingga diharapkan nantinya jika seseorang menjadi pemimpin ia tidak sewenang-wenang terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Banyak orang yang sering menyalah gunakan kedudukan ketika ia menjadi pemimpin. Pemimpin yang seharusnya mengayomi masyarakat yang dipimpinnya justru menjadi momok bagi masyarakat yang dipimpimnya. Rasa takut dan khawatir akan terjadinya suatu tindakan semena-mena terus menyelimuti benak mereka. Disinilah titik perlunya seseorang dituntut harus mempertanggungjawabkan atas kepemimpinan yang telah ia lakukan.  Pemimpin seyogyanya diambil dari internal kaumnya sendiri. Keuntungan yang diambil dari konsep ini diantaranya adalah pemimpin tersebut sedikit kemungkinan akan salah dalam menagani suatu masalah. Karena ia tahu betul kondisi masyarakat yang ia pimpin, karekteristik mereka satu sama lainnya dan alur kesepahaman yang telah terbentuk dalah pikiran pemimpin dan yang dipimpin. Allah Swt juga telah memperingatkan dalam al-qur’an surat Ali Imran ayat 118 bahwa :                           ••          Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.”  Selain beberapa hal diatas terdapat satu syarat yang harus dipenuhi seseorang ketika ia menginginkan jabatan sebagai pemimpin, yaitu seorang pemimpin harus profesional. Keprofesoinalan seorang pemimpin akan mempengaruhi kemajua suatu organisasi. Pemimpin adalah seorang yang harus pandai dalam membaca situasi dan keadaan sekitar. Tidak hanya sampai disitu saja, pemimpin harus juga pandai dalam berdiplomasi. Inilah guna dari seorang pemimpin yang profesinal. Sehingga diharapkan suatu organisasi yang mempunyai seorang pemimpin profesional tidak akan mudah tertipu oleh oknum-oknum yang tidak suka dengan organisasi tersebut.  D. Dasar Konseptual Kememimpinan Di Indonesia Menurut Drs. H. Sularno, MM dalam materi yang pernah disampaikan di perkuliahan terdapat tiga konsep kepemimpinan Indonesia yang dikemukakan oleh ki hajar dewantoro, yaitu :  a. Hing Ngarsa Sung Tuladha (Seorang pemimpin harus dapat menempatkan diri di depan dan berperan sebagai contoh teladan). b. Hing Madya Mangun Karsa (Seorang pemimpin harus dapat menempatkan diri di tengah-tengah rakyatnya dengan menciptakan kehendak dan kreativitas bersama rakyatnya). c. Tut Wuri Handayani (Seorang pemimpin harus dapat menempatkan dirinya di belakang dan berperan sebagai pemberi motivasi dan pendorong bagi rakyatnya. Seorang pemimpin diharapkan dapat menempatkan posisinya dimana saja dan berperan sesuai dengan posisinya. Ketika ia berada di belakang barisan maka ia diharapkan dapat memberi dorongan dan motivasi terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Ketika ia berada di tengah maka diharapkan ia bisa bekerjasama dengan masyarakatnya guna mencapai satu tujuan yang diinginkan bersama. Dan ketika ia berada di depan ia harus dapat menjadi contoh sebaik mungkin bagi masyarakatnya.  BAB II PEMBAHASAN A. Ideologi Pancasila Adalah Ideologi Islam Indonesia tidak bisa dipisahkan dari Islam. Islam telah melekat menjadi suatu hal yang mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupan rakyat di Indonesia. Bahkan Pancasila sendiri merupakan suatu ideologi yang berusaha mempertemukan prinsip Islam dengan perjuangan persatuan Indonesia pada saat perumusannya. Terlepas dari perdebatan dalam banyak literatur sejarah tentang kapan masuknya Islam ke Indonesia, pada saat ini Islam telah menjadi agama yang berinteraksi dengan berbagai kebudayaan daerah. Sejarah Wali Songo yang mendakwahkan Islam di tanah Jawa dan sekitarnya semakin memperjelas bahwa Islam dan kepemimpinannya mampu berakulturasi dengan berbagai budaya secara santun. Proses akulturasi antara Islam sebagai agama yang meliputi seluruh aspek kehidupan dengan budaya di Indonesia saat awal kedatangannya membuat Islam menjadi agama yang mampu diterima dengan mudah di Indonesia. Bahkan saat ini Indonesia masih bertahan sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.  Dalam mewujudkan kepemimpinan Islam di Indonesia dengan terang-terang menyebutkan “negara Indonesia adalah berkepemimpinan islam” tentu akan sangat sulit dilakukan. Terlebih jika harus merubah ideologi Pancasila yang ada pada saat ini dengan Ideologi Islam secara cepat dan memaksa. Lebih baik yang dilakukan umat islam di Indonesia adalah dengan menerapkan substansinya saja tanpa harus mengubah nama kepemimpinan itu sendiri sebagaimana yang telah penulis jelaskan dalam pendahuluan.  Indonesia merupakan negara yang berdaulat sehingga jika ingin melakukan hal tersebut harus dilakuakan kudeta/perlawanan terhadap negara seperti yang dilakukan oleh teman-teman dari Negara Islam Indonesia beberapa dekade yang lalu. Kudeta ini akan mengakibatkan penderitaan bagi rakyat dan kerugian bagi semua pihak tentunya. Akan tetapi, kesulitan itu bukanlah sebuah alasan agar kepemimpinan islam tidak ditegakkan, penegakan kepemimpinan islam dapat dimualai secara bertahap dan berkesinambungan. Serta perwujudan kepemimpinan islam di Indonesia tidak harus dalam bentuk sebuah negara, sehingga mengakibatkan konfrontasi dengan negara yang sudah ada. Bentuk kepemimpinan islam bisa saja diwujudkan dengan bentuk masyarakat yang mengamalakan dan mematuhi hukum-hukum dan aturan islam secara menyeluruh.  Kepemimpinan islam dengan wujud masyarakatnya yang Islami akan lebih mungkin untuk dikembangkan di Indonesia dan mudah untuk ditiru di negara-negara lainnya. Karena tidak akan ada konfrontasi dengan pihak institusi pemerintahan dan hal ini pun dilindungi oleh hak asasi manusia yang menjamin kebebasan beragama. Bentuk kepemimpinan seperti ini harus diawali oleh bagian terkecil dari sebuah masyarakat, yaitu manusia itu sendiri secara pribadi. Jika sudah tercipta individu-individu yang memiliki kepemimpinan islam maka dengan suatu ikatan perkawinan antar individu tersebut (laki-laki dan perempuan) maka akan tercipta keluarga yang berkepemimpinan islam, dan selanjutnya akan tercipta masyarakat yang islami, dan pada tingkatan yang lebih tinggi lagi akan lahir sebuah negara yang masyarakatnya memegang teguh kepemimpinan islam.  Itulah kepemimpinan islam, dibangun dengan cara-cara yang ma’ruf (benar) dan dapat menjadi rahmat bagi semesta alam. Memang untuk mewujudkan hal itu tidaklah mudah, penuh rintangan dan tantangan.   B. Konsep Kepemimpinan Islam di Indonesia  Melihat dari konsep kepemimpinan islam dan konsep kepemimpinan Indonesia yang telah penulis sedikit jabarkan dalam pendahuluan terdapat persamaan jika dilihat secara luas. Dalam kepemimpinan islam konsep dasarnya dijabarkan secara lebih detail dan menyebutkan kata “islam”. Sedangkan dalam kepemimpinan Indonesia konsep yang dibangun atau diusung disebutkan secara menyeluruh (lebih umum) dan tidak menyebutkan kata islam didalamnya. Walaupun sesungguhnya substansi yang ada didalamnya diambil dari substansi yang ada dalam islam. Hal ini dipengaruhi juga oleh keyakinan yang dianut oleh ki hajar selaku pencetus konsep tersebut.  Penulis merasa hal ini lebih adil jika diterapkan di Indonesia. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin tidak harus selalu mencantumkan lebel islam dalam setiap sendi kehidupan masyarakat. Memang secara kuantitas penganut agama islam di Indonesia jauh lebih banyak dari dari penganut agama-agama yang lain. Namun bukan berarti sebagai mayoritas kemudian seenaknya saja mau merubah ideologi yang telah dicetuskan oleh para pejuang yang berusaha mempertahankan kedaulatan idnonesia. Di lain sisi apabila gagasan kepemimpinan islam begitu saja di terapkan di Indonesia maka akan banyak penolakan disan-sini. Hal tersebut disasumsikan merupakan tindakan diskriminasi terhadap suatu masyarakat, mengingat negara Indonesia tidak hanya terdiri dari agama islam saja. Dalam islam sendiri perbuatan diskriminasi tidak diperkenankan untuk dilakukan.  Hal ini akan lebih mengena kepada visi dan misi islam sebagai agama rahmatan lil alamin sebagaimana yang telah penulis sebutkan diatas. Rahmatan lil alamin tidak harus menggunakan kepemimpinan islam. apalah artinya jika dengan diberlakukannya kepemimpinan islam akan menimbulkan banyak pemberontakan.  Islam dan Indonesia memiliki sebuah kaidah moderat dalam mengkombinasikan adanya fenomena kultur individual dan kultur kolektif. Sehingga yang dibangun tidak hanya pemimpin secara individual, tetapi mampu melingkupi kepemimpinan kolektif yang merupakan creative minority bagi revolusi putih perubahan Indonesia bahkan dunia. Terlepas dari bentuk kepemimpinan Islam seperti apa yang dibangun, kepemimpinan Islam yang dibangun di Indonesia memiliki tanggung jawab membumikan Islam yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Sehingga sejarah kepemimpinan Islam pada jaman Rasulullah SAW dan sahabatnya yang mampu membuat penduduk non-muslim nyaman dinaungi kepemimpinan Islam akan berulang dalam konteks kekinian, dimulai dari Indonesia.  C. Kepemimpinan Indonesia Memakai Prinsip Islam  Dalam literatur sejarah, memang Indonesia tidak pernah tercatat melahirkan pemimpin Islam yang terdengar ke seluruh dunia. Sejarah sering mencatat kelahiran para pemimpin Islam dari Timur Tengah. Misalnya saja Imam Khomeini yang berhasil mengadakan Revolusi Iran, dan penerusnya Ahmadinejad yang dengan kepribadian yang kuat berhasil mendapatkan banyak penghormatan dari dunia Internasional, selain kecaman yang juga dirasakannya. Namun jika kita mengkajinya lebih dalam. kepemimpinan mereka dibentuk dari sebuah kultur yang homogen, sehingga dalam tataran dunia, Imam Khomeini maupun Ahmadinejad belum mampu untuk mencari titik temu diantara negara-negara Islam apalagi dengan negara-negara non-muslim. Kenihilan sejarah tentang tidak penah terlahirnya pemimpin Islam yang mendunia dari Indonesia tidak menjadi argumen yang kuat bagi lahirnya pemimpin Islam dari Indonesia masa depan. Dengan realitas keberagaman yang mendidik pemimpin menjadi adil serta kondisi perpolitikan Indonesia yang bebas untuk menjadi tempat berinteraksi berbagai ideologi, prediksi mengenai kepemimpinan Islam yang berasal dari Indonesia menjadi semakin meyakinkan. Bahkan ulama besar tingkat dunia, DR. Yusuf Qordowi, dari jauh-jauh hari telah memberikan hipotesisnya bahwa kebangkitan Islam sebagai rahmat bagi semeta alam akan lahir dari Indonesia. Jika kita mengkaji lebih dalam mengenai prinsip kepemimpinan Indonesia, akan ada banyak prinsip yang terdapat korelasinya dengan prinsip dalam kepemimpinan islam. sebagaimana yang penulis sedikit jabarkan dalam pendahuluan mengenai prinsip kepemimpinan islam, ternyata dalam kepemimpinan Indonesia pun prinsip tersebut digunakan. Prinsip ketauhidan yang diajarkan oleh agama islam telah diterapkan dalam dasar negara Indonesia butir pertama. Sesungguhnya jika dipahami secara lebih mendalam dan seksama disertai dengan kejujuran dari setiap individu masyarakat Indonesia, maka seharusnya tidak ada agama kecuali islam yang boleh ada di Indonesia. Karena butir pertama pancasila menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah berketuhanan yang Maha Esa, dan bukan berdasar kepada dua atau tiga Tuhan.  Dalam kesepakatan untuk mencapai mufakat atau biasa disebut musyawarah. Hal ini juga sudah tertuang dalam pancasila butir keempat. Nilai yang terdapat didalamnya adalah bahwa hakikat negara adalah penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Hakikat rakyat merupakan sekelompok manusia sebagai makhluk Tuhan yang Mana Esa yang bersatu dengan tujuan mewujudkan hakrat dan martabat dalam suatu wilayah negara. Sehingga dalam sila ini telah terkandung nilai demokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan dalam kehidupan negara.   Sila kedua pancasila juga merupakan cerminan dari prinsip kepemimpinan islam, yaitu kebebasan. Kalimat “kemanusiaan yang adil dan beradab” yang mengisi sila kedua ini mengandung banyak nilai, diantaranya (1) adanya kebebasan yang harus disertai dengan tanggungjawab baik terhadap masyarakat bangsa secara moral terhadap Tuhan yang Maha Esa (2) menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan (3) menjamin dan memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam hidup bersama (4) menagkui atas perbedaan individu, kelompok, ras, suku, agama, karena perbedaan adalah suatu bawaan kodrat manusia (5) mengakui adanya persamaan hak yang melekat pada setian individu (6) mengarahkan perbedaan dalam suatu kerja sama kemanusiaan yang beradab (7) menjunjung tinggi asas musyawarah sebagai moral kemanusiaan yang beradab (8) mewujudkan dan mendasarkan suatu keadilan dalam kehidupan sosial agar tercapainya tujuan bersama.  Dalam al-qur’an prinsip kebebasan termaktub dalam suara al-kahfi ayat 19, yaitu :              •                         •      Artinya : “Dan Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.”  Prinsip keadilan, yang sekarang terefleksi dalam sila kelima pancasila, termasuk juga prinsip kepemimpinan islam. nilai yang terkandung didalamnya merupakan tujuan negara sebagai tujuan hidup bersama. Keadilan tersebut disadari dan dijiwai oleh keadilan hakikat keadilan manusia, yaitu keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia yang lain, manusia dengan masyarakat, bangsa dan negaranya serta hubungan manusia dengan Tuhan.   Secara garis besar kepemimpinan islam di Indonesia dapat terlaksana sesuai tuntunan ajaran agama islam, walaupun penerapannya dilakukan secara berbeda dan bertahap. Kepemimpinan islam di Indonesia sebagaian besar sudah terwakili, seperti presiden Republik Indonesia yang sejak dari kemerdekaan Indonesia hingga sekarang selalu dapat dipegang oleh masyarakat islam. Para menteri yang diangkat sebagai pembantu presiden juga sebagaian besar dipegang oleh pejabat yang beragama islam. ini membuktikan secara de facto kepemimpinan islam di Indonesia dapat disebut sebagai kepemimpinan islam, walaupun secara de jure hal ini tidak dapat dikatakan sebagai kepemimpinan islam.  BAB III PENUTUP Dari beberapa uraian sub bab diatas, penulis dapat sedikit menyimpulkan sebagai berikut, bahwa :  1. Kepemimpinan islam di Indonesia tidak dapat diterapkan jika menggunakan kata “islam” dalam kepemimpinan Indonesia.  2. Pada dasarnya kepemimpinan Indonesia sudah memakai prinsip-prinsip ajaran agama islam.  3. Konsep kepemimpinan islam di Indonesia tertuang dalam tiga butir pemikiran yang disampaikan oleh ki hajar dewantoro.  4. Kepemimpinan islam di Indonesia sejak dari dari pertama berdirinya negara ini dapat dikatakan sudah menerapkan substansi kepemimpinan islam, walaupun secara de jure hal tersebut belum dapat dikatakan demikian.  DAFTAR PUSTAKA al-mawardi, Abul hasan ali bin muhammad bin habib bin al-bashir.  Haekal, Muhammad Husein. Tth. Al-Hukumatul Islamiyah. Darul Ma’arif: Kairo. Kaelan, DR. M.S. 2004. Pendidikan Pancasila. Paradigma: Yogyakarta. Sularno, Drs. H. M.Ag. 2008. Materi studi kepemimpinan islam.  Suhilman, Ardhesa Fikriana. 20 Agustus 2008. www.google.com. Seaech “Sebuah Jalan Menuju Kepemimpinan Islam”.  Shihab, M. Quraish. 1999. Wawasan Al-qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat. Mizan: Bandung. www.google.com. Seaech “Kepemimpinan Islam di Indonesia”. 1 Juni 2008. Zainuddin, Muhadi, Drs. H., Lc., M.A dan abdul mustaqim, M.Ag. Studi Kepemimpinan Islam (Telaah Normatif Dan Historis). Al-muhsin Press: Yogyakarta. ------------- Al-qur’an karim dan terjemahan artinya. 2007. UII Press: Yogyakarta. (penulis adalah mahasiswa jurusan hukum islam FIAI UII) 

0 komentar:

Posting Komentar

 
footer