Sabtu, Mei 02, 2009

Korelasi Antara Pajak dan Zakat

BAB I  KATA PENGANTAR Puja dan puji syukur kita panjatkan kehadirat Alloh SWT. Atas berkat rahmat-Nya akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Korelasi zakat dan Pajak, ini tepat pada waktu yang telah ditentukan, dalam makalah ini kami akan sedikit membahas tentang hubungan antara zakat dan pajak yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Seterusnya kami haturkan terimakasih kepada bapak dosen yang telah mepercayakan tugas makalah ini kepada saya, serta permohonan maaf saya sampaikan sebelumnya atas ketidak sempurnaan makalah ini, baik dari segi penulisan atu isi karena kami sadar dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan-kekurangan, dan mungkin banyak terdapat kesalahan-kesalahan baik yang kami sadari atau tidak, maka dari itu kami sangat mengharapkan bimbingan dan penilaian dari bapak dosen serta kritik dan saran dari teman-teman demi penyempurnaan dan kelengkapan makalah ini. Bab II Pembahasan A. Pajak di Indonesia dan Problema Zakat Pembahasan ini akan mengemukakan tentang pelaksanaan zakat bagi Ummat Islam Indonesia, kaitannya dengan pajak yang dikenakan oleh pemerintah kepada rakyat, termasuk di antaranya Ummat Islam sebagai mayoritas penduduk. Zakat adalah kewajiban agama, sedang pajak merupakan ketentuan yang diterapkan dan dipungut oleh pemerintah.  Dalam pelaksanaannya, zakat selama ini tidak diatur secara khusus oleh negara dengan undang-undang. Terakhir, dikeluarkan Undang-undang Zakat tahun 1999, yaitu Undang-undang No 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam undang-undang itu tidak ditegaskan tentang pemungutan zakat, penghitungan harta muzakki oleh petugas zakat, dan bahkan tidak ada ketentuan snksi atau hukuman bagi pembandel zakat alias yang tidak mengeluarkan zakat atau tidak mematuhi ketentuan zakat.  Sementara itu mengenai pajak justru telah komplit, baik Undang-undangnya, perangkatnya, dan penanggulangan berbagai masalahnya. Hingga Undang-undang perpajakan terdiri dari 5 undang-undang yang disahkan Presiden 1997, dan dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan Presiden Soeharto di Jakarta, 7 Oktober 1997, dan mulai diberlakukan 1 Januari 1998.  Kenyataan seperti tersebut di atas mengandung problematika, dan itu memerlukan pembahasan di antaranya sebagai berikut:  1. Tentang kewajiban berzakat itu sendiri, bagaimana ketentuannya dalam Islam.  2. Ketentuan zakat menurut undang-undang.  3. Pajak ditinjau dari ajaran Islam.  4. Ketentuan pajak menurut undang-undang.  5. Pelaksanaan zakat dan pajak dan problematikanya.  B. Zakat Menurut Undang-Undang  Indonesia yang berpenduduk mayoritas (90-an persen) Muslim ini setelah mengalami kemerdekaan selama 54 tahun sejak 1945 dan telah berganti presiden 3 kali (Soekarno, Soeharto, kemudian BJ Habibie) barulah memutuskan Undang-undang Zakat. Undang-undang itu bernama Undang-undang No 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, disahkan di Jakarta, 23 September 1999 oleh Presiden RI, Bacharuddin Jusuf Habibie. Dan pada tanggal itu pula diundangkan oleh Menteri Negara Sekretaris Negara RI, Muladi, dengan Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 164. Undang-undang pengelolaan zakat itu terdiri dari 10 bab, berisi 25 pasal dilengkapi dengan penjelasannya.  C. Pajak Menurut Islam  Pajak atau dharibah diambil dari kata dharaba yang artinya utang, pajak tanah atau upeti dan sebagainya. Yaitu suatu yang mesti dibayar, sesuatu yang menjadi beban.  Termasuk dalam pengertian tersebut apa yang dikatakan Al-Qur’an: “Dan ditimpakan atas mereka kehinaan dan kemiskinan.” (QS 2:61).  Demikian, biasanya orang memandang pajak sebagai paksaan dan beban yang berat.   Pajak yang diakui dalam sejarah Islam dan dibenarkan sistemnya, menurut Dr Yusuf Al-Qaradhawy, harus memenuhi syarat-syarat di antaranya:  1. Benar-benar harta itu dibutuhkan (negara) dan tidak ada sumber lain.  2. Pembagian beban pajak harus adil.  3. Pajak hendaknya untuk membiayai kepentingan umat, bukan untuk maksiat dan hawa nafsu.  4. Atas persetujuan para ahli dan cendekia.  Dalam hal pungutan pajak, para ulama melandaskan bolehnya memungut pajak itu dengan landasan mashalihul mursalah dan kas negara dalam keadaan kosong. Al-Ghazali yang bermadzhab Syafi’i di mana beliau termasuk ulama yang sangat sedikit menggunakan kaidah mashalih al-mursalah, mengatakan bahwa apabila kas negara itu kosong dan tak ada biaya yang mencukupi untuk pengeluaran biaya militer sedangkan ditakutkan masuknya musuh ke dalam negara Islam, atau tumbuhnya pemberontakan dari pihak mereka yang bermaksud jahat, maka dibolehkan kepada negara memungut biaya dari orang kaya sekedar dapat mencukupi pembiayaan tentara, karena kita mengetahui bahwa apabila timbul dua bahaya maka syara’ mengharuskan menolak bahaya yang lebih besar. Beban yang diberikan kepada orang kaya itu lebih kecil bahayanya dibanding dengan bahaya yang mengancam jiwa dan hartanya, jika di negeri itu tidak terdapat kepala negara yang kuat yang dapat memelihara segala urusan dan menolak segala bahaya. .  Mengenai syarat bolehnya penguasa memungut pajak asal kas negara sudah kosong, ada sejarah khusus yang terkenal yaitu sikap Imam Nawawi terhadap Sultan yang meminta fatwa para ulama untuk membolehkan memungut pajak.  Sikap berani dilakukan oleh Imam Nawawi terhadap Sultan Dhahir Baibras. Tatkala Dhahir hendak berperang melawan tentara Tartar di negeri Syam, dalam baitul mal tidak terdapat biaya yang cukup untuk perbekalan tentara dan biaya bagi yang ikut perang. Para ulama negeri Syam memberi fatwa boleh mewajibkan pungutan terhadap rakyat untuk membantu Sultan dan tentara dalam memerangi musuh dan untuk menutupi biaya-biaya yang diperlukan.  Para ulama memberikan fatwa kepadanya dengan membolehkan pungutan itu atas dasar kebutuhan dan kepentingan, lalu mereka pun menuliskan fatwa itu kepadanya, sedangkan Imam Nawawi tidak hadir. Ketika Sultan bertanya kepada para ulama, apakah masih ada yang lain? Mereka berkata: “Ya. Yaitu Syekh Muhyiddin An-Nawwai.” Kemudian beliau diminta hadir dan beliau pun datang.  Sultan berkata kepadanya: “Berikan tanda tangan anda bersama para ulama lain!” Tapi Syekh itu tidak bersedia. Sultan menanyakan apa alasan penolakannya. Syekh itu berkata: “Saya mengetahui bahwa dahulu Sultan adalah hamba sahaya dari Amir Bunduqdar, anda tak mempunyai apa-apa, lalu Allah memberikan kekayaan dan dijadikannya Raja, saya mendengar anda memiliki 1000 orang hamba, setiap hamba memiliki pakaian kebesaran dari emas, dan anda pun memiliki 200 orang jariyah, setiap jariyah mempunyai perhiasan, apabila anda telah nafkahkan itu semua dan hamba-hamba itu hanya memakai kain wol saja sebagai pengganti pakaian indah itu, begitu pula jariyah-jariyah itu hanya memakai pakaian-pakaian saja tanpa perhiasan, maka saya berfatwa boleh memungut biaya dari rakyat.  Sultan Dhahir pun marah atas kata-kata Syekh itu dan ia berkata: “Keluarlah dari negeriku Damaskus! Syekh itu menjawab: “Saya taati perintah Sultan.” Dan pergilah beliau ke Nawa.  Para ahli fiqh berkata kepada Sultan, beliau itu adalah ulama besar, rekan kami dan panutan bagi banyak orang. Lalu Syekh itu diminta kembali ke Damaskus, tetapi beliau menolak dan berkata: “Saya tak akan masuk ke Damaskus selagi Dhahir ada di sana.” Sebulan kemudian Sultan pun mati.  Di antara tulisannya yang ditujukan kepada Sultan Dhahir Baibras yang berisi nasihat mengatakan dengan jelas apa yang dikehendaki hukum syara’. Ia berkata: “Tidak halal memungut sesuatu dari rakyat selagi dalam baitul maal masih ada uang atau perhiasan, tanah atau ladang yang dapat dijual, atau hal-hal selainnya.” D. Larangan Memungut Muks Banyak hadits Nabi saw yang mencela harta pajak (muks) dan para pemungutnya, dan mereka diancam dengan api neraka dan diharamkan masuk surga.  Dari Abu Khair ra ia berkata: “Maslamah bin Mukhallad –gubernur Mesir- menolak untuk menyerahkan ‘usyur (1/10) kepada Riwaifi bin Tsabit, sambil berkata: “Saya dengar Rasulullah saw mengatakan, bahwa pemilik muks itu dalam neraka.” (Hadits Riwayat Ahmad dari Riwayat Ibnu Luhaiah dan At-Thabrani. Ia menambahkan dengan kata “ya’n al-‘asyir”).  Dari ‘Uqbah bin Amir, sesungguhnya ia dengar dari Rasulullah saw berkata: “Tidak akan masuk surga pemilik harta muks.” (Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahihnya dan Hakim dengan berkata, hadits itu shahih dengan syarat Muslim).  Kedua hadits tersebut, menurut Yusuf Al-Qaradhawy, menguatkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya mengenai berita seorang perempuan yang berzina dan hamil. Nabi saw melaksanakan hukum rajam atas pengakuan dirinya, setelah perempuan pezina itu melahirkan dan menyusui anaknya.  Dalam hadits itu dinyatakan bahwa perempuan ini telah benar-benar bertaubat, dan jika sekiranya pemilik muks itu bertaubat seperti perempuan ini, tentu Allah akan mengampuninya serta menerima taubatnya.  Hadits itu menunjukkan betapa besarnya dosa pemilik muks itu, sehingga dibandingkan dengan perempuan berzina, hamil, dan beranak. Ini merupakan ancaman yang amat keras.  Di antara hadits riwayat Tabrani dalam Al-Kabir, dengan sanadnya dari Usman bin Abil Ash dari Nabi saw: “Sesungguhnya Allah dekat kepada hambaNya. Ia mengampuni dosa yang minta ampun kepadaNya, kecuali orang yang berdosa besar, dengan farjinya, atau pemilik al-‘usyur” (1/10). (Disebutkan dalam Majma’ az-Zawaaid, jilid 3, hal 88 dengan beberapa kata dari al-Kabir dan al-Ausath. Juga dari Ahmad. Ia berkata, sanad-sanad Ahmad adalah sanad shahih kecuali Ali bin Zaid, menurut sebagian orang ia dapat dipercaya).   Apakah Muks Itu?  Ibnul Atsir dalam kitab An-Nihayah berakta, muks ialah pajak yang dipungut dengan tarif 10%. Al-Baghawi berkata: “Yang dinamakan pemilik muks ialah orang yang memungut pajak 1/10 dari para pedagang yang lewat padanya.” Al-Mundziri berkata: “Adapun sekarang pemilik muks itu ialah yang memungut pajak dengan nama ‘usyur dan pajak-pajak lain yang tidak pakai nama, bahkan segala sesuatu yang mereka pungut dengan jalan haram dan dosa. Mereka makan harta itu seolah-olah mereka makan api neraka dalam perutnya. Alasan mereka dipatahkan di hadapan Tuhannya. Bagi mereka murka Allah dan siksa yang pedih.” Munawi berkata: “Mengenai syarah hadits ini dalam At-Taisir: Sesungguhnya úsyur itu wajib atas orang Yahudi dan Nasrani. Apabila terhadap mereka dibuat perjanjian tentang ‘usyur, atau bagi mereka yang masuk negeri kita untuk berdagang dan dikenakan atas mereka ‘usyur atau dengan cara lain mewajibkan atas mereka. ‘Sedangkan terhadap kaum muslimin tidak ada usyur selain usyur zakat’. “ Inilah asal haramnya memungut pajak muks dari orang Islam.  Meskipun demikian, Al-Qaradhawy menyanggah diharamkannya pemungutan pajak terhadap muslimin, dengan mengemukakan: “Adapun pajak-pajak yang diwajibkan dengan syarat-syarat yang telah kita sebutkan dan dipergunakan untuk membiayai anggaran belanja negara, menanggulangi kebutuhan negara untuk produksi dan pelayanan, juga untuk membiayai keperluan militer, ekonomi, kebudayaan, dan lain-lain. Juga untuk membangun dalam segala lapangan sehingga yang bodoh bisa belajar, penganggur memperoleh pekerjaan, yang kelaparan bisa makan, yang takut merasa aman, dan yang sakit dapat diobati. Adapun pajak-pajak yang mempunyai tujuan seperti itu tidak diragukan lagi dibolehkan oleh Islam, bahkan sekarang diwajibkan. Pemerintah Islam berhak mewajibkan pajak dan memungutnya dari rakyat sesuai dengan kebutuhan.”   Pajak Menurut Undang-undang di Indonesia  Pajak menurut undang-undang adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, menurut Peraturan Perundang-undangan.  Penerapan pajak di Indonesia dilengkapi dengan 5 undang-undang tahun 1997 yang mengatur:  1. Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (UU no 17/ 1997).  2. Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. (UU No 18/ 1997).  3. Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. (UU No 19/ 1997).  4. Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. (UU No 20/ 1997).  5. Tentang Bea Perolehan hak Atas Tanah dan Bangunan. (UU No 21/ 1997.  Undang-undang itu disertai dengan Keppres No 41/ 1997, disahkan mulai berlaku 1 Januari 1998.  Dengan kelengkapan perangkat perundang-undangan perpajakan baru tersebut terdapat kepastian serta dasar penerapan dan penegakan hukum antara lain terhadap tatacara penagihan atas berbagai jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah.  Jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat atau Pajak Pusat adalah:  1. Pajak Penghasilan,  2. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa,  3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah,  4. Pajak bumi dan bangunan,  5. Bea masuk dan cukai.  6. Bea meterai, dan  7. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.  Jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah Daerah atau Pajak daerah adalah:  a. Pajak kendaraan bermotor,  b. Bea balik nama kendaraan bermotor,  c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor,  d. Pajak hotel dan restauran,  e. Pajak hiburan,  f. Pajak reklame,  g. Pajak penerangan jalan,  h. Pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan c, dan  i. Pajak atas pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.  Sistem perpajakan Indonesia dilengkapi dengan tatacara pelaksanaan penagihan hutang pajak. Di dalam Undang-undang No 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dan Surat Paksa pelaksanaan penagihan pajak telah diatur sedemikian rupa.  Tahapan pelaksanaan penagihan pajak adalah sebagai berikut:  1. Penagihan Teguran;  2. Penerbitan Surat Paksa;  3. Melakukan Penyitaan;  4. Melakukan Pelelangan.  Penagihan yang sedemikian rupa itu, apabila ada penyimpangan pelaksanaan penagihan pajak, maka Wajib Pajak diberi hak untuk mengajukan gugatan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, yang diatur dalam UU No 17 tahun 1997.  Problematika Zakat dan Pajak di Indonesia  Setelah jelas hukum dan pelaksanaan zakat dan pajak di Indonesia, maka perlu dibahas, apa saja problematika zakat dan pajak di Indonesia.  E. Zakat bisa mengurangi pajak, namun ada beberapa masalah  Dalam penjelasan UU Tentang Pengelolaan Zakat pasal 14 ayat (3) disebutkan: Pengurangan zakat dari laba/ pendapatan sisa kena pajak dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban membayar zakat dan pajak. Kesadaran membayar zakat dapat memacu kesadaran membayar pajak.  Meskipun demikian, Undang-undang ini mengandung beberapa problema di antaranya:  1. Tidak memberikan tanggung jawab atas amil zakat atau BAZ (Badan Amil Zakat) untuk bertindak dan bertanggung jawab memungut zakat terhadap muzakki.  2. BAZ tidak ada tugas bertanggung jawab meneliti dan menghitung harta muzakki. Sedangkan muzakki sama sekali tidak ada sanksi dalam hal melanggar ketentuan-ketentuan zakat.  3. Tidak ada mekanisme yang jelas apbila muzakki membagi-bagi zakatnya kepada mustahiq. Apakah perlu memberikan bukti pembayaran zakat kepada BAZ, kemudian disahkan oleh BAZ, dan semestinya bisa digunakan sebagai bukti ketika membayar pajak, guna mendapatkan pengurangan, sesuai dengan besar zakat yang telah dikeluarkan.  4. Dari teks undang-undang tentang Pengelolaan Zakat bisa dibaca bahwa pembayaran zakat “otomatis” lebih kecil dibanding pembayaran pajak. Istilah “pengurangan” dalam hal beban wajib pajak dengan bukti telah berzakat, itu mengandung makna bahwa pajak mesti lebih besar daripada zakat. Lantas, bagaimana seandainya orang menemukan harta rikaz yang nilai zakatnya berkali lipat dibanding pajak? Sekalipun pajak sudah “dipastikan” lebih besar daripada zakat, maka dalam kasus zakat jauh lebih besar daripada pajak, mengandung problematika. a. Apakah pihak pajak berarti punya utang terhadap muzakki?  b. Apakah muzakki setiap tahun cukup menunjukkan bukti zakat, kemudian dalam sekian tahun terbebas dari pajak, atau  c. Bukti zakat itu hanya berlaku sekali, pada tahun dia berzakat.  5. Bisa terjadi pihak muzakki menjadi pihak yang terdhalimi, misalnya ada institusi yang langsung memotong zakat terhadap karyawannya, dan tidak memberikan bukti setor zakat. Dan kalau memberikan kartu bukti telah bayar zakat pun, kalau tidak ada pengesahan dari BAZ, apakah pihak perpajakan mau menerimanya?  F. Problem dari segi sistem hukum.  1. Sistem perpajakan di Indonesia telah sedemikian rapinya, sehingga tahap-tahap yang mencekam bagi masyarakat yaitu penagihan pun telah diancamkan lewat undang-undang secara mengikat, yang isinya tentang Surat Teguran, Surat Paksa, Penyitaan, dan Pelelangan. Padahal, dari segi hukum Islam, kebolehan penarikan pajak itu sendiri justru para ulama masih berselisih pendapat. Paling kurang, kebolehannya itu dengan aneka syarat.  2. Tidak diragukan lagi, perpajakan yang memungut lebih dari 10 %, bahkan kini PPN (Pejak Pertambahan Nilai) diusulkan 20 % itu sudah jelas merupakan kedhaliman menurut Islam. Karena PPN itu sama sekali bukan hanya dikenakan kepada orang kaya, namun orang yang sedang makan di restoran pun kena PPN. Bahkan menulis di koran dengan honor 20 ribu rupiah pun kena PPN yang dulunya 10% naik menjadi 15%, dan hal-hal tertentu diusulkan naik jadi 20%.  3. Masalah penggunaan pajak yang sering merugikan ummat Islam, misalnya untuk membiayai tentara dan pembelian senjata yang justru sering untuk membantai ummat Islam misalnya di Aceh, Ambon oleh Tentara Yon Gabungan pada bulan Januari 2001M, dan lain-lain, misalnya pembangunan kembali candi Hindu atau Budha tempat kemusyrikan. Itu jelas bertentangan dengan Islam.  4. Penerapan pajak terhadap apa yang disebut pajak (tempat-tempat) hiburan merupakan satu hal yang memprihatinkan bagi ummat Islam. Yang disebut tempat hiburan itu rata-rata tempat maksiat dan pelanggaran akhlaq mulia. Namun dengan ditetapkannya pajak (tempat-tempat) hiburan yang dikukuhkan lewat undang-undang, maka posisi tempat maksiat itu menjadi legal dilindungi hukum. Jadi pemerintah sama dengan memelihara dan mengembangkan kemaksiatan.  5. Tidak ada undang-undang yang melindungi rakyat dalam hal pemerintah menggunakan pajak tidak sesuai dengan kepentingan yang bisa dibolehkan oleh Islam, sehingga posisi ummat Islam selaku pembayar pajak tidak bisa menuntut apapun apabila pemerintah menggunakan pajak di luar kepentingan yang dibolehkan Islam. Padahal, kebolehan menarik pajak bagi ulama yang membolehkan, itupun bersyarat.  Dalam hal ini ketentuan umum dari hadits Nabi saw: “Tidak ada ketaatan terhadap makhluq dalam hal bermaksiat kepada Khaliq.”  Dalam hal ini yang ada hanya “paksaan” terhadap rakyat dari pemerintah, dan tidak ada hak rakyat untuk menuntut pemerintah. Itu satu problem yang jelas-jelas nyata.  Kesimpulan:  1. Zakat di Indonesia mulai mendapatkan perlindungan secara hukum dalam pengelolaannya dengan Undang-undang No 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Namun undang-undang itu tidak ada penegasan tentang wajibnya petugas untuk menarik/ mengumpulkan zakat, menghitung harta muzakki, dan sanksi bagi pengingkar zakat.  2. Zakat itu merupakan kewajiban bagi ummat Islam yang memenuhi kriteria tertentu, landasan kewajiban itu jelas yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta ijma’ sahabat dalam hal memerangi para pengingkar zakat.  3. Pajak menurut Islam masih diperselisihkan oleh para ulama tentang kebolehannya. Ulama yang membolehkan seperti Yusuf Al-Qaradhawy Ulama Qatar pun mensyaratkan berbagai syarat di antaranya tentang keadilan, tiadanya kedhaliman, dan tidak untuk maksiat dan hawa nafsu.  4. Pajak di Indonesia diatur secara sangat mengikat dengan 5 undang-undang tahun 1997, dan diberlakukan mulai 1 Januari 1998.  5. Pajak yang status hukumnya dalam Islam jauh lebih kecil/ lemah dibanding hukum zakat yang sangat kuat itu di Indonesia justru terbalik. Hukum pajak lebih sangat ditekankan dan diterapkan secara sangat mengikat dengan berbagai tahap ancaman. Sementara itu tentang zakat, di samping undang-undangnya baru, lembaganya pun secara umum belum jelas, bahkan aturannya pun masih kabur, lebih-lebih kalau dikaitkan dengan timpaan kewajiban ganda antara pajak dan zakat. Karena, meskipun muzakki yang sudah mengeluarkan zakat bisa diberi hak pengurangan pajak sesuai dengan zakat yang telah dikeluarkan, namun aturan itu belum jelas benar mekanismenya, lagi pula justru menegaskan bahwa yang lebih penting dan lebih besar nilai nominalnya, serta lebih dianggap wajib oleh negara itu adalah pajak  6. Sanksi terhadap wajib pajak sangat ditegakkan secara hukum, namun sanksi terhadap pemerintah yang menggunakan pajak tidak sesuai dengan keyakinan mayoritas penduduk (yaitu beragama Islam) tidak ada sama sekali. Sehingga pajak yang tentu saja sebagian besar ditarik dari umat Islam, justru sering digunakan kepada hal-hal yang merugikan kepentingan Islam, namun ummat Islam tidak diberi hak menuntut, karena tidak ada undang-undangnya tentang itu.  7. Pengenaan “pajak hiburan” terhadap tempat-tempat maksiat yang disebut tempat hiburan (mungkin saat otonomi daerah diberlakukan nanti ada yang menerapkan pajak tempat judi legal) itu justru melegalkan dan menyuburkan tempat maksiat, yang hal itu sangat bertentangan dengan kepentingan mayoritas penduduk. Ini berarti negara merusak akhlaq masyarakat hanya demi kepentingan mendapatkan uang. Ini tak ubahnya sama dengan barisan preman atau tukang pukul tempat-tempat maksiat atau antek Dajjal berbaju negara.  8. Sementara itu zakat yang diharapkan bisa mengurangi penderitaan kaum faqir miskin dan mustahiqin, tampaknya kurang diseriusi oleh pemerintah, baik secara hukum maupun penanganannya.  Itulah aneka problema dalam hal zakat dan pajak di Indonesia.  Selain orang-orang pemerintah, maka orang-orang DPR yang mengeluarkan undang-undang itu akan dimintai tanggung jawabnya di hadapan masyarakat, dan yang pasti adalah di hadapan Allah SWT kelak. MUI yang telah memberikan kata pengantar buku penggalakan pajak dengan judul Zakat dan Pajak, 1992, mesti bertanggung jawab pula di hadapan Ummat Islam Indonesia dan terutama kepada Allah SWT.  G. Perbedaan Antara Fungsi Zakat dan Pajak Zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak. Tujuan yang luhur ini tersirat pada kata zakat itu sendiri yang bermakna suci, tumbuh dan berkah. Pajak tidak memiliki tujuan luhur seperti zakat. Para ahli keuangan berabad-abad lamanya menolak adanya tujuan lain pada pajak, selain untuk menghasilkan pembiayaan (uang) untuk mengisi kas Negara (mazhab yang netral). Setelah timbul kemajuan berpikir dan terjadi perubahan social politik dan ekonomi, maka madzhab tersebut menjadi surut (terkalahkan), dan timbullah berbagai pajak sebagai alat untuk mencapai tujuan ekonomi dan social tertentu, seperti anjuran untuk berderma, menabung, penghematan biaya, barang-barang mewah atau yang lain. Tujuan tersebut merupakan tujuan sampingan di luar tujuan utama, yaitu untuk memenuhi keuangan Negara, namun para perencana perpajakan dan ahli-ahli keuangan pada umumnya, juga para pakar di bidang itu tidak dapat keluar lebih jauh dari tujuan-tujuan materi, seperti tujuan spiritual dan moral yang menjadi tujuan utama zakat Bab III Kesimpulan Dari uraian diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan, diantaranya: 1. Islam mengenal zakat dan pajak dalam masalah kewajiban terhadap harta kekayaan yang dimiliki oleh umat muslim. 2. Zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak. Sedangkan pajak tidak memiliki tujaun luhur seperti zakat hanya memilki fungsi yang lebih luas. Daftar Pustaka: Syalabi, Ahmad, Dr, Islam dalam Timbangan, terjemahan Abu Laela dan Muhammad Tohir, PT Al-Ma’arif, Bandung, cetakan pertama 1982.  Husnan, Ahmad .Zakat Menurut Sunnah dan Zakat Model Baru, Pustaka Al-Kautsar Jakarta, cetakan I, 1996.  Al-Jazairi ,Abu Bakar Jabir, Minhajul Muslim, Darul Fikr, Beirut, cetakan pertama 1995. Setia Tunggal, Hadi,SH (penghimpun), Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dilengkapi Undang-Undang Nomor 17/ 1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Harvarindo Jakarta, 2000.  Yusuf Al-Qaradhawy, Dr, Fiqhuz Zakah, II, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, cetakan VIII, 1405H/ 1985M.  As-Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, jilid I dan III, Darul Fikr, Beirut, cetakan IV, 1403H/ 1983M. 

Ali M. Nuruddin. Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal. Jakarta. Rajawali Press. 2006. 

(penulis adalah mahasiswa jurusan hukum islam FIAI UII)

0 komentar:

Posting Komentar

 
footer