Jumat, Mei 29, 2009

ZAKAT INDIVIDU DAN ZAKAT KOLEKTIF

BAB I PENDAHULUAN Zakat merupakan refleksi tekad untuk mensucikan masyarakat dari penyakit kemiskinan, harta benda orang kaya, dan pelanggaran terhadap ajaran-ajaran Islam yang terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan pokok bagi setiap orang tanpa membedakan suku, ras, dan kelompok. Zakat merupakan komitmen seorang Muslim dalam bidang soio-ekonomi yang tidak terhindarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi semua orang, tanpa harus meletakkan beban pada kas negara semata, seperti yang dilakukan oleh sistem sosialisme dan negara kesejahteraan modern. Pemberdayaan ekonomi Ummat Islam melalui pelaksanaan ibadah zakat masih banyak menemui hambatan yang bersumber terutama dari kalangan Ummat Islam itu sendiri. Kesadaran pelaksanaan zakat masih di kalangan Ummat Islam masih belum diikuti dengan tingkat pemahaman yang memadai tentang ibadah yang satu ini, khususnya jika diperbandingkan dengan ibadah wajib lainnya seperti sholat dan puasa. Kurangnya pemahaman tentang jenis harta yang wajib zakat dan mekanisme pembayaran yang dituntunkan oleh syariah Islam menyebabkan pelaksanaan ibadah zakat menjadi sangat tergantung pada masing-masing individu. Hal tersebut pada gilirannya mempengaruhi perkembangan institusi zakat, yang seharusnya memegang peranan penting dalam pembudayaan ibadah zakat secara kolektif agar pelaksanaan ibadah harta ini menjadi lebih efektif dan efisien. Dalam pembahasan makalah kali ini penulis tidak banyak menyinggu tentang zakat individu. Alasan penulis sangat sederhana, yaitu karena pada pertemuan-pertemuan yang terdahulu sudah banyak dibahas mengenai bentuk zakat ini. Sehingga dirasa tidak terlampau perlu untuk membahasnya. Penulis hanya akan menyinggung secara umum dan tidak mendetail seperti pembahasan mengenai zakat kolektif. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Zakat merupakan rukun Islam kelima disebutkan dalam ayat al-Qur'an sebanyak 82 kali. Dalam terminologi fiqih, zakat sering juga disebutkan dengan istilah shadaqah dengan maknanya yang lebih general yang berkonotasi pada sebuah amal kebajikan kepada orang lain. Zakat berasal dari kata “zaka” sebagai mana digunakan dalam al-Qur'an adalah suci dari dosa. Dalam literatur fiqih zakat bermakna suci, tumbuh, berkembang dan berkah. Pengertian zakat secara terminologis adalah bagian harta yang wajib diberikan oleh setiap muslim mukallaf yang memenuhi persyaratan kepada pihak yang memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan dikenainya kewajiban zakat adalah nisab, haul dan kadar zakat. Sedangkan pihak penerima zakat adalah yang memenuhi salah satu kriteria dari delapan ashnaf (golongan) mustahiq (berhak) zakat sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur'an. Kata individu dalam kamus bahasa indonesia berarti orang seorang; perorangan; pribadi orang (terpisah dari yang lain); organisme yang hidupnya berdiri sendiri, secara fisiologi ia bersifat bebas (tidak mempunyai hubungan organik dengan sesamanya). Sedangkan kata kolektif mempunyai arti sejumlah orang; perkumpulan orang; secara bersama-sama. Jadi zakat individu dapat diberi pengertian sebagai zakat yang dibebankan kepada individu-individu perorangan, sedangkan zakat kolektif merupakan zakat yang dibebankan kepada individu-individu dalam sautu perkumpulan atau kelompok. B. Landasan hukum Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa zakat individu bagi setiap umat islam mukallaf yang mampu dan umat islam yang tidak termasuk dalam hal yang menjadi perselisihan hingga saat diwajibkan melaksanakan rukun islam yang ke-4, yaitu menunaikan zakat. Banyak ayat-ayat yang menerangkan tentang zakat individu ini pada pembahasan-pembahasan terdahulu.        ••                 Artinya : “Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah, dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”. Mengenai zakat kolektif pada saat ini hampir sebagian besar perusahaan dikelola tidak secara individual, melainkan secara bersama-sama dalam sebuah kelembagaan dan organisasi menejemen yang modern. Misalnya dalam bentuk PT, CV atau koperasi. Para ahli ekonomi menyatakan bahwa saat ini komoditas-komoditas tertentu yang sifatnya konvensional yang dilakukan dalam skala, wilayah dan level sempti. Bisnis yang dikelola perusahaan terlah merambah berbagai bidang kehidupan, dalam skala dan wilayah yang sangat luas, bahkan antarnegara dalam bentuk ekspor dan impor. Paling tidak menurut mereka perusahaan itu pada umumnya mencakup tiga hal yang besar. Pertama, perusahaan yang menghasilkan produk-produk tertentu. Jika dikaitkan dengan kewajiban zakat maka produk yang dihasilkan harus halal dan dimiliki oleh orang-orang yang beragama islam, atau kalau pemiliknya bermacam-macam agamanya, maka berdasarkan kepemilikan saham dari yang beragama islam. Sebagai contoh dapat dikemukakan, perusahaan yang memrporuksi sandang dan pangan, alat-alat kosmetik dan obat-obatan, berbagai macam kendaraan dan berbagai suku cadangnya, ala-alat rumah tangga, bahkan bangunan dan lain sebagainya. Kedua, perusahaan yang bergerak dibidang jasa, seperti perusahaan yang bergerak dibidang akutansi. Ketiga, perusahaan yang bergerak dibidang keuangan, seperti lembaga keuangan, baik bank maupun non bank (asuransi, reksadana, money, dan yang lainnya). Adapun yang menjadi landasan hukum kewajiban zakat pada perusahaan adalah nash-nash yang bersifat umum, seperti termaktub dalam surat al-baqarah ayat 267 :                            •     Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. dan at-taubah ayat 103 :           •         Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. Dalam hal penarikan zakat ini terdapat dua pendapat. Pertama adalah yang mewajibkan zakat yaitu dengan dasar hasil ijtihad ulama masa kini. Dasar yang digunakan adalah Q.S. Al- Baqarah : 267 dan UU No. 38 th 1999 ttg penglolaan zakat. Sedangkan pendapat yang kedua adalah yang tidak mewajibkan zakat yakni menurut ulama’ masa lampau. Juga merujuk kepada sebuah hadits riwayat imam bukhari (hadits ke-1448 dan dikemukakan kembali dalam hadits ke-1450 dan 1451). Dari muhammad bin abdillah al-anshari dair bapaknya, ia berkata baha abu bakar ra telah menulis sebuah surat yang berisikan kewajiban yang diperintahkan oleh rasulullah saw, terjemahannya sebagai berikut : “Dan janganlah disatukan (dikumpulkan) harta yang mula-mula terpisah. Sebaiknya jangan pula dipisahkan harta yang pada mula-mulanya bersatu karena takut mengeluarkan zakat”. Dalam riwayat lain juga dituliskan hadits yang terjemahannya sebagai berikut : “Dan harta yang disatukan dari dua orang yang berkongsi, maka dikembalikan kepada keduanya secara sama”. Hadits tersebut pada awalnya berdasarkan asbab al-wurud-nya. Yaitu hanya berkaitan dengan perkongsian dalam hewan ternak, sebagaimana dikemukakan dalam berbagai kitab fiqh. Akan tetapi dengan dasar qiyas dipergunakan pula untuk berbagai syirkah dan perkongsian serta kerjasama usaha dalam berbagai bidang. Apalagi syirkah dan perkongsian itu kerupakan kegiatan usaha yang sangat dianjurkan oleh ajaran islam. Berdasarkan hadits-hadits tersebut, keberadaan perusahaan sebagai wadah usaha menjadi badan hukum (recht person). Karena itu muktamar internasional pertama tentang zalat di kuwait (29 rajab 1404 H) menyatakan bahwa kewajiban zakat sangat terkait dengan perusahaan dengan catatan antara lain adanya kesepakatan sebelumnya antara para pemegan saham, agar terjadi kedidhaan dan keikhlasan ketika mengeluarkannya. Kesepakatan tersebut seyogyanya dituangkan dalam aturan perusahaan, sehingga sifatnya menjadi mengikat. Perusahaan menurut hasil muktamar tersebut termasuk ke dalam syirkah i’tibaran (badan hukum yang dianggap orang). Oleh karena itu antara individu itu kemudia timbul transaksi, meminjam, menjual, berhubungan dengan pihak luar, dan juga menjalin kerjasama. Segala kewajiban dan hasil akhirnya un dinikmati secara bersama, termasuk di dalamnya kewajiban kepada Allah SWT dalam bentuk zakat. Tetapi di luar zakat perusahaan, tiap individu juga waijb mengeluarkan zakat, sesiau dengan penghaslian dan juga nishabnya. Dalam kaitannya dengan kewajiban zakat perusahaan ini, dalam undang-undang no. 38 tahun 1999, tentang pengelolaan zakat Bab IV pasal 11 ayat 2 bagian b dikemukakan bahwa diantara objek zakat yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah perdagangan dan perusahaan. C. Nisab, Waktu, Kadar dan Cara Mengeluarkan Zakat Perusahaan Para ulama muktamar internasional pertama tentang zakat menganalogikan zakat perusahaan ini kepada zakat perdagangan, karena dipandang dari aspek legal dan ekonomi kegiatan sebuah perusahaan intinya berpijak pad trading atau perdagangan. Oleh karena itu secara umum pola pembayaran dan perhitungan zakat perusahaan adlah sama dengan zakat perdagangan. Demikian pula nisabnya adalah 85 gram emas. Sebuah perusahaan biasanya memiliki harta yang tidak akan terlepas dari tiga bentuk. Pertama harta dalam bentuk barang, bak yang berupa sarana dan prasarana, maupun yang merupakan komoditas perdagangan. Kedua, harta yang dalambentuk piutang. Ketiga, harta dalam bentuk uang tunai, yang biasanya disimpan di bank-bank. Maka yang dimaksud dengan harta perusahaan yang harus dizakati adalah ketiga bentuk harta terbut, dan dikurangi harta dalam bentuk sarana dan prasarana dan kewajiban mendesak lainnya seperti utang yang jatuh tempo atau yang harus dibayar saat itu juga. Abu ubaid dalam al-amwaal menyatakan bahwa “apabila anda telah sampai pada batas waktu membayar zakat (yaitu usaha anda telah berlangsung selama satu tahun, misalnya usahan dimulai pada bulan dzulhijjah 1421 H dan telah sampa pada dzulhijja 1422), perhatikanlah apa yang engkau miliki, baik berupa uang (kas) ataupun barang yang siap diperdagangkan (persediaan), kemudian nilailah dengan nilai uang dan hitunglah utang-utangmy atas apa yang telah engkau miliki”. Dari penjelasan diatas maka dapat diketahui bahwa pola perhitungan zakat perusahaan, didasarkan pada pola laporan keuangan dengan mengurangkan kewajiban atas aktiva lancar. Atau seluruh harta (diluar sarana dan prasarana) ditambah keuntungan, dikurangi pembayaran utang dan kewajiban lainnya, lalu dikeluarkan 2,5 % sebabai zakatnya. Namum ada pendapat lain menyatakan bahwa yang wajib dikeluarkan zakatnya itu hanyalah keuntungannya saja. Pendapat lain menyatakan bahwa jika perusahaan tersebut bergerak dalam bidang produksi maka zakat yang dikeluarkan sesuai dengan aturan zakat investasi atau pertanian. Dengan demikian zakat perusahaan dikeluarkan pada saat menghasilkan sedangkan modal tidak dikenai zakat. Kadar zakat yang dikeluarkan sebesar 5 % atau 10 %. 5 % untuk penghasilan kotor dan 10 % untuk pengahasilan bersih. Terdapat sedikit catatan apabila dalam perusahaan tersebut ada penyertaan modal dari pegawai non muslim maka penghitungan zakat setelah dikurangi kepemilikan modal atau keuntungan dari pegawai non muslim. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari sedikit uraian diatas dapat penulis simpulkan sebagai berikut : 1. Dalam hal landasan zakat kolektif ini masih terdapat perbedaan pendapat antara ulama masa lampau dengan ulama masa kini. Hal tersebut disebabkan karena perbedaan dasar yang digunakan masing-masing pihak. 2. Nisab mengeluarkan zakat apabila mengikuti pendapat ulama masa kini adalah 85 gram emas dan waktunya setahun. Seperti halnya zakat-zakat lainnya. 3. Cara mengeluarkannya zakat kolektif adalah dengan menarik dari pihak yang bersangkutan yang kemudian dikumpulkan. Dan setelah terkumpul dikeluarkanlah zakatnya atas nama kolektif (atas nama perusahaan). DAFTAR PUSTAKA Al-Qaradhawy, yusuf, Dr. Fiqhuz Zakah, II, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, cetakan VIII, 1405H/ 1985M. Husnan, Ahmad. Zakat Menurut Sunnah dan Zakat Model Baru, Pustaka Al-Kautsar Jakarta, cetakan I, 1996. Sabiq, As-Sayyid. Fiqhus Sunnah, jilid I dan III, Darul Fikr, Beirut, cetakan IV, 1403H/ 1983M. Tunggal, Hadi Setia, SH (penghimpun), Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dilengkapi Undang-Undang Nomor 17/ 1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Harvarindo Jakarta, 2000.

0 komentar:

Posting Komentar

 
footer