Selasa, Januari 19, 2010

BEBERAPA CATATAN PERZINAAN DALAM KUHP

Pendahuluan
Perzinahan adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan dimana salah satu atau dua-duanya sudah menikah dengan orang lain. Persetubuhan tersebut dilakukan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.[1]
Persetubuhan di era globalisasi ini sudah sangat marak dilakukan, baik antara pemuda pemudi maupun antara orang yang telah berkeluarga. Fenomena ini menjadi sangat biasa karena masyarakat telah terbiasa dengan hal-hal semcam ini. Perzinaan dapat terjadi oleh banyak faktor, diantaranya terbukanya pergaulan yang sangat bebas antara lawan jenis, kurangnya pemahaman terhadap akibat perzinaan, kurangnya keyakinan yang kuat terhadap agama dan hukum yang mengatur tentang perzinaan.
Untuk faktor yang penulis terakhir sebutkan, menurut hemat penulis sangat menentukan praktek perzinaan yang dilakukan masyarakat dalam sebuah negara. Hukum yang tidak kuat akan turut memberi peluang terjadinya perzinaan di negeri ini. Asumsi ini mengingat bahwa panglima tertinggi yang ada di negeri ini adalah hukum (ius contitutum), bukan hukum islam, hukum adat atau hukum sekelompok orang.
Berkaitan dengan judul yang penulis angkat dalam tulisan ini, maka penulis hanya ingin menyoroti perihal perzinaan yang diatur dalam KUHP.

Perzinaan dalam KUHP
Dari kutipan pengertian tentang perzinaan diatas dapat ditarik sebuah anasila bahwa perzinaan dalam hukum positif (KUHP) dapat dikatakan terjadi jika hanya dilakukan oleh seorang laki-laki atau seorang istri yang salah satu atau keduanya terikat perkawinan dengan orang lain. Pengertian diatas juga berarti jika persetubuhan (perzinaan) tersebut dilakukan oleh seorang lak-laki dengan seorang perempuan yang keduanya belum terikat dengan perkawinan maka tidak dapat dikatakan sebagai sebuah perzinaan.
Spirit yang ada dalam aturan tersebut sepertinya karena ingin melindungi hak asasi manusia. Namun jauh kedepan sesungguhnya aturan tersebut belum dapat melindungi eksistensi manusia sebagai makhluk yang mulia, mempunyai moralitas tinggi dan berperadaban baik. Asas kebebasan nampaknya mempengaruhi aturan yang ada di KUHP ini secara mutlak. Padahal kebebasan manusia seharusnya masih terbatas oleh keberadaan manusia itu sendiri sebagai makhluk yang mempunyai akal dan berpengetahuan. Aturan dibuat karena ingin melindungi hak asasi manusia, namun mengapa aturan tidak melindung eksistensi manusia yang notabennya sebagai makhluk yang berakal dan berpengetahuan?
Perzinaan dalam KUHP termasuk kedalam delik aduan. Apabila akibat berbuatan tersebut tidak merasa ada yang dirugikan, maka tidak dapat dipidana para pelaku perzinaan. Hukuman dalam hukum positif ternyata menganut asas kerugian. Artinya selama perbuatan tersebut tidak merugikan orang lain maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana. Terkecuali perzinaan yang dilakukan seorang laki-laki dengan serorang perempuan yang salah satu atau keduanya telah terikat perkawinan, perbuatan tersebut diketahui oleh orang yang mempunyai ikatan perkawinan dengannya dan dipalorkan kepada pihak yang berwajib.
As a tool as social engeenering of law dalam hal permasalahan perzinaan ini ternyata tidak dapat terwujud. Rekayasa yang dapat diback up oleh aturan perzinaan saat ini hanyalah masalah hak asasi manusia saja, namun belum dapat melindungi wibawa dan kehormatan manusia sebagai makhluk fi ahsani taqwiim, sempurna dalam arti bentuk, sempurna dalam arti akhlak, sempurna dalam arti kemuliaan dan sempurna dalam arti tindakan yang dilakukan.

Hukuman setimpal dengan perbuatan
Salah satu ajaran teori pemidanaan adalah teori pembalasan. Immanuel kant mengemukakan teorinya bahwa “kejahatan itu menimbulkan ketidakadilan, maka harus dibalas dengan ketidakadilan pula”. Perbuatan perzinaan pada dalam KUHP dinyatakan sebagai sebuah kejahatan, namun kejahatan ini masih bersifat delik aduan. Akibatnya hukuman yang diancamkan terhadap tindak pidana perzinaan juga ringan.
Hakikat suatu hukum itu dibuat bertujuan tidak hanya sebagai social control, tetapi juga untuk mengurangi kejahatan seminimal dan seefektif mungkin menekan kejahatan tersebut dapat terulang kembali. Ancaman pidana terhadap berbagai tindak pidana akan mencapai tujuannya jika memenuhi criteria sebagai berikut :
a.    Menjerakan si pelaku.
b.    Dapat menjadi pelajaran bagi orang lain.
c.    Seimbang dengan perbuatan yang dilakukan.
d.    Bersifat umum, berlaku terhadap semua orang.[2]
Jika melihat ancaman yang terdapat dalam pasal 284 KUHP maka hukuman yang ada penulis merasa belum memenuhi criteria sebuah sanksi diatas. Hal ini terkait aturan yang ditetapkan juga tidak ketat dan bersifat setengah hati (tidak keseluruhan).

Kesimpulan
Hukum dalam KUHP telah mengatur perihal perzinaan sebagaimana yang telah tertera dalam pasal 284. Namun aturan tersebut hemat penulis masih dibuat dengan setengah hati (tidak sungguh) karena hanya bertujuan melindungi hak asasi manusia. Seharusnya aturan tersebut dibuat berdasarkan spirit kemanusiaan (eksistensi, penjagaan moral dan pelindungan sekaligus perlindungan atas hak asasi manusia).
Tindak pidana perzinaan termasuk kedalam delik aduan yang ada pada saat ini. Sehingga perbuatan tersebut dapat dijatuhi hukuman jika perbuatan tersebut dilaporkan kepada pihak yang berwajib.
Sanksi/hukuman yang diancamkan tidak memenuhi criteria sebuah sanksi itu dihatuhkan terhadap pelaku. Sehingga sanksi/hukuman dalam perzinaan ini tidak benar-benar efektif dalam meminimalir tindak pidana perzinaan.
Perlu kiranya diadakan pembaharuan dalam terkait aturan tentang perzinaan ini. tujuannya tidak lain untuk memelihara manusia khususnya para pemuda dan pemudi penerus bangsa ini agar tidak terus menerus terjerumus dalam hal-hal yang bersifat negatif. Pembaharuan yang penulis maksud diatas adalah dalam tiga hal, yaitu dari segi aturan, sifat tindak pidana perzinaan dan sanksi/hukuman yang diancamkan.


[1] “Konsultasi Hukum: Pelanggaran Pasal 284” dikutip dari http://dhita-myblog.blogspot.com/2008/07/konsultasi-hukum-pelanggaran-pasal-284.html/acgessed 17 Juli 2008.
[2] KH. Ahmad Azhar Basyir, MA, Ikhtisar Fikih Jinayat, Yogyakarta : UII Press, hal. 66.

0 komentar:

Posting Komentar

 
footer