Minggu, Januari 24, 2010

Punya Kewenangankah MA Menguji PERDA?

Pendahuluan
Dalam peraturan perundang-undangan, Perda memiliki posisi yang unik karena meski kedudukan Perda berada di bawah undang-undang, tetapi tidak terdapat kesatuan pendapat antara para pakar mengenai siapa sebenarnya yang berwenang mengujinya. Perdebatan mengenai berlakunya executive review dan judicial review terhadap Perda menjadi pertanyaan tersendiri di era otoda ini mengingat Perda adalah produk kepala daerah dan DPRD di suatu daerah yang bersifat otonom.
Pengujian terhadap Perda tidak dilakukan oleh Mahkamah Agung. Menurut pakar ilmu perundang-undangan tersebut, hal itu terkait ketentuan Pasal 145 ayat (2) UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, di mana kewenangan pengujian dan pembatalan Perda hanya ada pada Presiden apabila Perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Artinya, yang berwenang membatalkan Perda berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 itu ialah Presiden/Pemerintah melalui Peraturan Presiden.
Kondisi demikian berarti sebagai pengecualian dari ketentuan Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 dan UU Nomor 5 Tahun 2004 (sebagaimana telah di ubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2009) dimana seharusnya MA berwenang melakukan uji materiil terhadap segala peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Sebetulnya menurut Pasal 24A UUD 1945, semua peraturan di bawah UU diujinya oleh MA, tapi UU Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan kalau Perda bertentangan dengan yang lebih tinggi, dibatalkan oleh Presiden.

Rumsan Masalah
MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan seterusnya, tapi tidak termasuk perda.
1.    Apakah Mahkamah Agung mempunyai kewenangan untuk menguji peraturan daerah dan bagaimana proses pengujiannya?

Kewenangan Mahkamah Agung dalam Pengujian Peraturan Daerah (Judicial Review)
            Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang (Judicial review) yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagaimana kewenangan atributifnya diatur dalam pasal 24A ayat (1) UUD 1945 juncto pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2004, pasal 11 UU Nomor 4 Tahun 2004, pasal 31 UU Nomor 5 Tahun 2004, pasal 31A UU Nomor 3 Tahun 2009, dan pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004. Dalam ketentuan aturan tersebut, Mahkamah Agung berwenang melakukan Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dengan mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 2004, ditemukan bahwa Peraturan Daerah adalah juga merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dengan menggunakan metode logika deduktif/silogisme, maka yang menjadi premis mayornya adalah semua peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat di uji materilkan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan premis minornya adalah peraturan daerah merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dengan demikian, dapat di tarik sebuah konklusi/kesimpulan bahwa peraturan daerah dapat diujimaterilkan oleh Mahkamah Agung. Dengan kata lain, MA juga mempunyai kewenangan dalam melakukan pengujian dan pembatalan terhadap suatu perda.
            Proses pengajuan permohonan uji materil terhadap suatu perda, maka pihak yang merasa dirugikan atas berlakunya perda tersebut dapat mengajukan permohonan dengan menempuh dua cara, yaitu langsung kepada Mahkamah Agung, atau melalui Pengadilan Negeri (Pasal 2 Ayat (1) PERMA No.1 Tahun 2004). Sebenarnya hal ini menimbulkan permasalahan yang patut untuk di kaji. Jika merujuk pada Pasal 31 Ayat (3) UU No.5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No.14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang pada intinya menjelaskan bahwa putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dapat diambil baik berhubungan pada pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung, maka akan terlihat pertentangan antara PERMA a quo dengan Undang-Undang a quo. Untuk lebih jelasnya, Pasal 4 PERMA No.1 Tahun 2004 menjelaskan bahwa :
(1)     Dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri, didaftarkan kepada kepaniteraan pengadilan negeri dan dibukukan kedalam buku register permohonan tersendiri dengan menggunakan kode : …….P/HUM/Th…./PN……. Setelah permohonan atau kuasanya yang sah membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima;
(2)     panitera pengadilan negeri memeriksa kelengkapan permohonan keberatan yang telah didaftarkan oleh pemohon atau kuasanya yang sah, dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada pemohon atau kuasanya yang sah;
(3)     panitera pengadilan negeri mengirimkan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung pada hari berikut pada hari pendaftaran;
(4)     ……..dst.
            Dari penjelasan pasal tersebut, terlihat jelas perbedaan makna dari pada Pasal 31 Ayat (3) UU No.5 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa putusan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, dilakukan baik yang berhubungan pada tingkat kasasi maupun yang berhubungan pada permohonan langsung kepada Mahkamah Agung. Artinya, permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang bisa juga dimohonkan kepada pengadilan negeri untuk selanjutnya dilanjutkan pada tingkatan kasasi. Kejanggalannya ialah tidak adanya aturan yang menegaskan tentang kewenangan Pengadilan Negeri untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Jika berbicara sidang tingkat kasasi, maka sudah tentu telah ada putusan Pengadilan sebelumnya yang akan ditindak lanjuti di lingkungan Mahkamah Agung. Suatu hal yang sangat bertentangan dengan apa yang termuat dalam Pasal 31 Ayat (3) UU No.5 / 2004. Mahkamah Agung mencoba menginterpretasikan makna dari pasal 31 ayat (3) tersebut melalui Pasal 4 PERMA No.1 / 2004. Namun jika diperhatikan, permohonan keberatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri pada pasal a quo, hanya menunjukkan perpanjangan tangan dari Mahkamah Agung. Artinya, setelah berkas permohonan dimasukkan ke Pengadilan Negeri, maka selanjutnya Pengadilan Negeri menyerahkan berkas keberatan tersebut ke Mahkamah Agung untuk di sidang. Jadi, Pengadilan Negeri tidak melakukan sidang pengujian terhadap keberatan yang di ajukan oleh pemohon terkait dengan pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang pada umumnya, dan Perda pada khususnya. Oleh karena itu, sangat membingungkan pengertian kasasi yang tertuang dalam pasal 31 ayat (3) UU a quo.
            Selanjutnya, mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan pihak yang merasa dirugikan atas berlakunya suatu Perda, telah ditegaskan dalam pasal 31a ayat (3) huruf b UU Nomor 3 Tahun 2009, bahwa uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa :
1.    Materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau
2.    Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;
Pada bagian pertama dikenal dengan istilah pengujian materil, sedangkan pada bagian kedua, dikenal dengan istilah pengujian formil. Dari sini, timbul lagi permasalahan, yaitu Pada bagian pertama yang apabila dikaitkan dengan pengujian perda, maka landasan bagi MA untuk menguji perda terhadap undang-undang, adalah materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian isi dari peraturan daerah. Selanjutnya, pada pasal 31 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2004 (yang masih tetap berlaku) menjelaskan bahwa
“Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.”
Dari sini, Apabila suatu peraturan daerah dipandang bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian perda bertentangan dengan undang-undang, maka sesuai dengan ketentuan pasal 31 ayat (2) tersebut, Mahkamah Agung menyatakan bahwa perda tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sesuai dengan ketentuan ayat (4). Bagaimana jika dalam proses pengujiannya, MA hanya menemukan satu ayat, atau satu pasal, atau satu bagian dalam peraturan daerah tersebut yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jika demikian, maka mau tidak mau, keseluruhan dari peraturan daerah tersebut dianggap tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, seperti halnya jika dilakukan pengujian formil. Ketentuan tersebut bukan hanya berlaku saja pada pengujian perda, melainkan juga berlaku pada pengujian seluruh peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Apabila materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dipandang bertentangan dengan undang-undang, maka seluruh materi muatan perturan perundang-undangan dibawah undang-undang tersebut dianggap tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, walaupun pertentangannya hanya ditemukan pada satu ayat, atau satu pasal, atau satu bagian saja.
            Hal yang perlu juga diperhatikan ialah, adanya batas waktu yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung perihal permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Pembatasan waktu tersebut diatur dalam Pasal 2 Ayat (4) PERMA No.1 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa permohonan keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Artinya, apabila permohonan diajukan setelah melewati tenggang waktu tersebut, maka permohonan tersebut sudah tidak dapat lagi di terima. Hal ini sebenarnya telah membatasi bahkan menghilangkan hak masyarakat yang merasa dirugikan atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan (Perda) untuk mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung. Padahal, bisa saja ada pihak/masyarakat yang ingin mengajukan permohonan pengujian suatu Perda ke Mahkamah Agung, namun sudah melewati batas waktu yang sudah di tentukan (180 hari sejak di tetapkannya Perda tersebut).
            Executive Review (pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat) terhadap suatu Peraturan Daerah, apabila secara murni mengacu pada ketentuan normatif hukum pada Pasal 145 UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, bukanlah menjadi suatu permasalahan, dikarenakan Pemerintah Daerah merupakan bagian dari Pemerintah Pusat atau berada dibawah Pemerintah Pusat. Sehingga, Pemerintah Pusat juga mempunyai kewenangan untuk menguji dan membatalkan peraturan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah. Pengujian terhadap suatu Perda yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat adalah dalam rangka pengawasan dan pembinaan terhadap Pemerintahan Daerah. Jika Pemerintah Daerah bersama-sama DPRD menetapkan suatu Perda, maka Pemerintah Daerah wajib menyerahkan Perda tersebut kepada Pemerintah Pusat untuk di evaluasi. Dan jika hasil evaluasi Pemerintah mendapatkan bukti bahwa Perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Pemerintah membatalkan Perda tersebut dan untuk selanjutnya diserahkan kembali ke Pemerintah Daerah bersangkutan agar bersama-sama DPRD mencabut Perda dimaksud. Selanjutnya, Jika Pemerintah Daerah tidak menyepakati pembatalan Perda yang dilakukan oleh Pemerintah, maka Pemerintah Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 145 Ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004. Selanjutnya, pada ketentuan Ayat (6), apabila keberatan tersebut dikabulkan sebagian atau seluruhnya, maka putusan Mahkamah Agung menyatakan Peraturan Presiden yang membatalkan Perda bersangkutan menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan menggunakan metode interpretasi argumentum a contrario terhadap Pasal 145 Ayat (6) tersebut, maka ditemukan bahwa Peraturan Presiden yang membatalkan tentang suatu Perda dinyatakan tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum apabila Mahkamah Agung menolak keberatan dari Pemerintah Daerah. Artinya, berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, Mahkamah Agung tidak membatalkan suatu Perda, melainkan yang membatalkan Perda adalah Pemerintah Pusat dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden. Yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung menurut ketentuan UU tersebut hanyalah Peraturan Presiden apabila permohonan keberatan yang diajukan oleh Pemerintah Daerah di kabulkan oleh MA.

Kesimpulan
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang (Judicial review) yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagaimana kewenangan atributifnya diatur dalam pasal 24A ayat (1) UUD 1945 juncto pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2004, pasal 11 UU Nomor 4 Tahun 2004, pasal 31 UU Nomor 5 Tahun 2004, pasal 31A UU Nomor 3 Tahun 2009, dan pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004. Dalam ketentuan aturan tersebut, Mahkamah Agung berwenang melakukan Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dengan mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 2004, ditemukan bahwa Peraturan Daerah adalah juga merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dengan menggunakan metode logika deduktif/silogisme, maka yang menjadi premis mayornya adalah semua peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat di uji materilkan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan premis minornya adalah peraturan daerah merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dengan demikian, dapat di tarik sebuah konklusi/kesimpulan bahwa peraturan daerah dapat di uji materilkan oleh Mahkamah Agung. Dengan kata lain, MA juga mempunyai kewenangan dalam melakukan pengujian dan pembatalan terhadap suatu Perda.

Daftar Pustaka
Huda, Ni’matul.2005. Otonomi Daerah. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
http://bs-ba.facebook.com/topic.php?uid=68003490816&topic=12307
http://bs-ba.facebook.com/topic.php?uid=68003490816&topic=12308

0 komentar:

Posting Komentar

 
footer